Oleh HARRY TJAHJONO
Sinopsis, atau yang dalam bahasan Inggrisi diulis synopsis, makna harafiahnya adalah ikhtisar atau ringkasan cerita. Dalam proses penulisan skenario, yang pertama kali harus dilakukan si penulis adalah membuat sinopsis. Setelah dibahas dan disetujui oleh prouser atau pemesannya, sinopsis itu kemudian dikembangkan menjadi treatment—yang baru akan kita bicarakan nanti. Dan tahap terakhir adalah penulisan skenario berdasar treatment yang sudah disepakati.
Kalau arti harafiah sinopsis itu ringkasan atau ikhtisar cerita, ngapain di bawah judul SINOPSIS itu dikasih subjudul Singkat, Optimal, Sistematis?
Wah…, kamu jeli juga ya….
Begini. Ringkasan atau ikhtisar cerita itu semata-mata hanya untuk menjelaskan makna harfiah sinopsis, sedangkan subjudul Singkat, Optimal, Sistematis itu lebih dimaksudkan sebagai saran, pedoman atau tiga hal yang perlu diperhatikan si penulis saat menyusun sinopsis.
Oo…, kirain SINOPSIS itu akronim dari Singkat, Optimal, Sistematis.
Boleh saja. Kebetulan memang cocok dan gampang diingat. Nah, gitu dong…, itu namanya berpikir kreatif. Kata cendekiawan, berpikir kreatif adalah menghubungkan ide atau hal-hal yang sebelumnya tidak dianggap berhubungan.
Contohnya, pada abad 17 seorang filsuf astronom bernama Keppler menghubungkan dua fakta yang tampaknya tidak berhubungan, yaitu bulan di langit dan laut di bumi. Hasilnya? Keppler “menemukan fakta baru” bahwa rotasi bulan ternyata mempengaruhi pasang-surut air laut.
Bagi penulis skenario, berpikir kreatif itu hukumnya wajib. Dan kamu sudah melakukannya. Kalau ingin jadi penulis emang harus membiasakan diri selalu berpikir kreatif. Bahkan penulis yang top juga wajib berpikir kreatif….
Kamu tuh mau ngasih tau cara nulis sinopsis atau ngasih nasihat?
(Ehem!) Oke…, sebenarnya sinopsis itu bukan sekadar ringkasan. Sinopsis lebih pas disebut ikhtisar cerita yang berisi sejumlah data dan informasi untuk mengubah penceritaan secara sastra (literer) menjadi penceritaan audio-visual (filmis).
Namanya ringkasan, alur cerita berisi data dan informasi itu mesti singkat tapi lengkap dan jelas. Karena dibatasi running time atau durasi (film antara 1 ½–2 jam, sinetron sekitar ½ – 1 jam), data dan informasi itu tentu dipilih secara optimal—hanya yang penting dan diperlukan untuk penceritaan filmis. Dan meskipun bersifat literer, sinopsis jelas bukan karya sastra. Karena itu, sinopsis nggak terlalu mementingkan keindahan bahasa.
Yang penting, sinopsis harus gampang dimengerti, alur ceritanya nggak ruwet, bahasanya nggak bertele-tele, kalimatnya enak dibaca dan komunikatif—dengan kata lain dituturkan secara runtut, sederhana dan sistematis.
Jadi…, nggak salah juga sih kalau SINOPSIS dibilang akronim dari Singkat, Optimal, Sistematis. Ah…, jago juga lo…
Prekk!! Lanjut aja! Sinopsis itu panjang pendeknya seberapa, sih? Misalnya diketik, kira-kira perlu berapa lembar kertas folio?
Emang berapa panjang? Berapa lembar?
Soal panjang pendeknya sinopsis itu relatif. Sinopsis untuk film atau sinetron? Sekali tamat atau serial? Temanya drama atau komedi? Dan banyak lagi hal lain yang membuat panjang sinopsis sulit dibakukan.
Tapi, menurut Misbach Yusa Biran, penulis skneario dan tokoh perfilman nasional yang sudah almarhum, sinopsis yang baik untuk sebuah film cerita layar lebar 120 menit, panjangnya bisa mencapai 40 halaman ketik folio.
Sorii.., gue permisi cabut. Mo daftar modelling aja…
Eiit…, kalo elo cabut yang dengerin lanjutannya siapa? Batu? Nggak bisa! Elo boleh cabut asal kuping lo elo tinggalin di sini!
Budeg dong gue?
Makanya…, jayus amat sih lo? Gue terusin nggak?!
Terusin dong. Lagian apaan aja sih yang ditulis dalam sinopsis setebal 40 halaman itu?
(Ehem!) Yang ditulis itu ya semua data dan informasi yang diperlukan dan dianggap penting, dong! Soalnya, di dalam sebuah sinopsis yang baik pasti ditemukan kelengkapan data dan informasi mengenai hal-hal sbb:
Pertama, tentang tema, isi dan jalan cerita.
Kedua, perihal motivasi, hasrat, alasan, tujuan dan hal lain yang mendorong para pelaku untuk melakukan tindakan (action).
Ketiga, konflik dan rintangan yang dialami para pelaku, termasuk daya upaya mereka dalam menghadapi dan mencari solusi.
Keempat, perwatakan atau karakterisasi masing-masing tokoh.
Kelima, suasana tempat kejadian atau segala sesuatu yang bersifat “luar biasa”, unik, asing atau ciri khas lokasi cerita—berikut waktu atau cuaca saat cerita terjadi.
Keenam, petikan atau cuplikan dialog yang dianggap perlu boleh juga dikutip.
Busyet….
Jangan buru-buru ngeper, dong! Yang namanya sinopsis itu kan nggak harus sepanjang 40 halaman seperti kata Pak Misbach. Angka 40 itu kan sekadar patokan ideal untuk sinopsis yang baik, yang mendekati sempurna. Waktu perfilman nasional masih berjaya, kira-kira 30 tahun yang lalu, sinopsis film memang mengacu pada patokan ideal itu.
Tapi, sejak perfilman nasional oleng dan sinetron tampil sebagai primadona tontonan televisi, yang namanya sinopsis itu adalah ringkasan cerita berupa tulisan pendek. Paling panjang 10 halaman ketik—itupun jarang ada. Yang terbanyak adalah sinopsis sepanjang satu dan dua halaman ketik folio.
Maksudnya sinopsis mini? Atau anaknya sinopsis kali….
Jelas bukan! Kalau anaknya…, kapan hamilnya, kapan melahirkannya?
Mungkin lebih pas disebut sinopsis bonsai. Sebab, yang dibikin kontet bukan cuma ukurannya. Fungsi dan tujuannya juga dikerdilkan menjadi sekadar pelengkap proposal bisnis yang ditawarkan produser ke pihak broadcast. Atau sebagai press-release yang ditempeli foto artis dan diselipi amplop duit..
Baru sinopsis aja sudah diselipin duit?
Kalau proposalnya diokein broadcast, produsernya ya dapet duit. Kalau sebagai press-release, yang dapat duit ya wartawan koran atau majalah yang mempublikasikannya.
Penulisnya dibagi juga, dong?
Duit kok dibagi. Duit itu ya buat beli apa kek…, apa ditabung kek…. Sinterklas aja udah lama nggak bagi-bagi duit, apalagi manusia biasa?
Kalo nggak ada duitnya…, ngapain amat capek-capek nulis sinopsis?
Elo tuh pengen jadi penulis skenario apa mau menjelma raksasa Buto Ijo yang baru nyium bau duit aja matanya udah hijau?
Ngapain menjelma Buto Ijo cuman bisa nyium duit. Ya mending jadi koruptor aja langsung kaya.
Udah, ah! Stop becanda, saatnya serius.
Nulis sinopsis itu pekerjaan serius ya?
Ya. Pekerjaan yang menuntut keseriusan, kreativitas, kemampuan, ketekunan, kesetiaan menulis dan kesediaan dikritik. Kesediaan mendengar dan menerima saran, pendapat, masukan dari orang lain, terutama dari pemesan skenario.
Tapi kenapa yang dapet duit malah produser atau yang mempublikasikannya?
Kok balik ke soal duit itu lagi! Ingat…, yang kita bahas adalah sinopsis sebagai proses penulisan skenario. Kita nggak bicara soal menulis sinopsis skenario supaya dapet duit, tapi karena ingin jadi penulis skenario!
Dan salah satu kiat menulis skenario, pertama-tama adalah membuat sinopsis cerita, lalu mengembangkannya menjadi treatment, kemudian baru sampai pada penulisan skenario.
Setiap penulis skenario yang ingin berkarya secara optimal akan menjalani proses tersebut. Menulis skenario tanpa sinopsis dan treatment, ibarat membangun rumah tanpa mengukur luas tanah dan nggak pakai gambar rencana. Paham?
Cukup paham. Oya…, sinopsis itu dibuat jadi treatment setelah dibahas dan disetujui produser atau pemesannya, kan?
Betul.
Trus yang membahas dan menyetujui siapa?
Bisa produser, sutradara, sebuah tim kreatif atau sekelompok individu yang punya kapasitas dan kompetensi untuk menilai dan memberi masukan kepada penulis.
Diskusi dan perdebatan yang berlangsung saat membahas sinopsis, tentu akan memperkaya pengetahuan dan meluaskan wawasan penulis. Selain itu, si penulis akan mengenal dan bahkan bisa menjalin hubungan baik dengan orang-orang terkemuka dalam industri hiburan.
Bagi penulis skenario, proses membahas sinopsis itu bisa membuahkan banyak manfaat yang jauh lebih berharga dibanding dengan duit honor menulis sinopsis. Bener, kan?
Iya juga sih…
Makanya itu jangan nggak baca lanjutan soal masalah tetek-bengek scenario berikutnya. *