SKENARIO: Fiksi Harus Logis

Nulis Skenario

Oleh HARRY TJAHJONO

Kalo sekarang ini kita masih membicarakan soal cerita, itu karena memang masih perlu terus dibahas. Pasalnya, membuat skenario bukan cuma perkara terampil menulis atau bermodal paham istilah teknis film saja. Membuat skenario adalah mengarang cerita. Bukan cuma asal cerita, apalagi cerita asal-asalan. 

Tuntutan profesi penulis skenario adalah mampu mengarang cerita yang bagus, karena itu harus mencoba tahu dan berusaha paham  apa saja yang membuat cerita jadi menarik. Cerita yang bagus belum tentu menarik. Cerita yang menarik belum tentu bagus.

Tapi kasih tau dulu dong gimana caranya supaya bisa punya keterampilan menulis?

Caranya cuma satu. Terus-menerus latihan, latihan dan latihan menulis. Harus praktek menulis. Rajin, tekun dan disiplin latihan menulis. Jangankan yang baru belajar, bahkan penulis profesional pun mesti punya disiplin menulis. Kalo dua atau tiga hari sama sekali nggak nulis, untuk memulainya akan sulit. Setidaknya jadi malas. Jangankan nulis cerita, bikin kalimat aja bisa belepotan.

Begitu ya?

Ya begitu. Masih ingat perumpamaan belajar naik sepeda, kan? Kenyataannya emang gitu itu. Belajar nulis itu ibarat belajar naik sepeda. Kalau nggak dipraktekin, jangan ngimpi ikutan balap sepeda. Kalau belum jatuh bangun belajar naik sepeda, trus maksain ikut balapan ya namanya ngawur.

Iya, iya, iyaaa…, nggak usah diulang-ulang, kuping jadi pengeng inih! 

Pengeng itu keren. Kalo nggak bisa pengeng atau nggak pernah bunyi nging, jangan-jangan malah tuli atau…. 

Udaah…, kasih tau gimana caranya mengarang cerita yang bagus aja deh!

Caranya gampang aja! Lo beli tuh buku Mengarang itu Gampang karangan Arswendo Atmowiloto. Baca baik-baik, berulang-ulang, sampai benar-benar paham, lalu praktekkan! Mengarang itu gampang, kan?

Seneng amat nyuruh orang beli buku, sih? Kongkalikong sesama penulis buku ya? Komisinya berapa persen, sih?

Kalo disuruh beli buku kok mesti sewot. Padahal,  mengarang cerita itu nggak cukup hanya mengandalkan khayalan atau sekadar menuliskan lamunan.  Mengarang itu sebuah aktivitas kreatif yang butuh pengetahuan dan wawasan. Suatu kegiatan berpikir dengan akal dan nalar yang cerdas dan kreatif.

Makanya, belajar mengarang itu juga berarti harus banyak baca buku. Harus punya disiplin membaca. Supaya pengetahuan dan wawasan jadi luas. Kalo nggak tau apa-apa, mau ngarang apa? Kalo diri sendiri aja males baca buku, berani amat lo mengharapkan orang lain mau repot baca karangan lo?

Soal disiplin membaca tadi maksudnya gimana, sih?

Disiplin membaca itu misalnya begini: lo tentukan sendiri bahwa dalam seminggu paling sedikit lo harus baca satu buku. Buku apa saja, tebal atau tipis, pinjam atau beli, pokoknya satu minggu harus baca satu buku. Nggak berat-berat amat, kan? Setahun itu kan cuma 52 minggu. Jadi, dalam setahun  minimal lo baca 52 buku. Lumayan. Lebih banyak, lebih baik, lebih berwawasan luas. Kalau tetap disiplin, dalam 10 tahun berarti sudah baca 520 buku. Pengetahuan lo mestinya jadi cukup banyak. Wawasan lo mestinya jadi lumayan luas.

Disiplin membaca itu gunanya untuk itu?

Disiplin membaca itu gunanya untuk membentuk kebiasaan membaca. Jangan nyengir! Kebiasaan itu bisa dilatih dan dibentuk. Contohnya, kebiasaan lo makan nasi dan minum air. Kalo sejak kecil lo dibiasakan makan cabe, makanan pokok lo pastilah sambel..

Jadi, dengan menerapkan disiplin membaca, lo akan punya kebiasaan baca buku. Dalam jangka panjang, kebiasaan baca buku itu akan menjadi kebutuhan hidup lo, seperti halnya lo butuh makan nasi dan minum air. Oke? Cukup jelas untuk dimengerti?

Iyaaa, mengertiii…, lanjut aja ke soal apa sih yang membuat cerita jadi menarik?

Banyak. Bisa karakter tokoh-tokohnya, temanya, dan banyak lagi yang bisa membuat cerita jadi menarik.  Tapi, apa yang paling membuat cerita jadi menarik adalah: ceritanya masuk akal. Ceritanya logis.

Iya? Ceritanya masuk akal. Logis.  Cuman gitu aja?

Iya. Salah satu yang paling pokok dan paling penting ya cuman itu.

Ya gampang dong kalo gitu! Kalo cuman ceritanya masuk akal sih ngapain ngarang? Tulis aja kisah nyata yang dialami teman atau tetangga, pasti ceritanya masuk akal. Kalo nggak masuk akal nggak mungkin bisa terjadi dalam kenyataan, kan?

Belum tentu juga. Sebab, apa yang terjadi dalam kenyataan, dalam “realitas faktual”, nggak selalu masuk akal, belum tentu logis, dan emang nggak perlu harus masuk akal dan logis. Contohnya,  teroris yang nabrak gedung WTC d New York, 11 September 2001. Sebelum itu terjadi, kejadian teroris ngebajak pesawat trus ditabrakin ke situ pastilah hal yang nggak masuk di akal. Nggak logis.

Karena bisa terjadi dalam kenyataan, pastilah masuk akal dong?

Kalaupun ada yang menganggap itu sebagai sesuatu yang masuk akal, pastinya ya cuman terorisnya saja. Buktinya FBI dan intelijen Amerika Serikat aja nggak kepikiran bisa ada kejadian begitu. Bahkan imajinasi seniman Hollywood yang terkenal jago bikin film action aja nggak sampai seliar itu. Sesudah terjadi juga orang masih suka terheran-heran…, kok bisa yaa….

Jadi, apa yang tidak masuk akal bisa terjadi di kenyataan ya?

Bisa banget.  Apa yang terjadi dalam “realitas faktual”, dalam kenyataan, biarpun nggak masuk akal juga nggak apa-apa. Karena setelah jadi realitas, ya terpaksa harus diterima oleh akal, harus dianggap masuk akal. Sebaliknya, cerita yang terjadi dalam “realitas fiksi”, harus masuk akal, harus logis. “Realitas faktual” dan “realitas fiksi” itu dua hal berbeda.

Tapi, biarpun ceritanya nggak logis, orang kan bisa saja terpaksa harus percaya? Kan bisa dipaksa percaya?

Tergantung orangnya mau apa enggak. Tapi, percaya dengan terpaksa atau dipaksa percaya itu jelas berbeda makna dan juga lain akibatnya.

Kalo cerita dalam realitas fiksi nggak masuk akal, orang nggak akan percaya bahwa itu benar-benar terjadi. Nggak percaya kalau itu bisa mungkin saja terjadi. Kalo orang nggak percaya, atau dipaksa terpaksa percaya, mana mungkin  tertarik ngikutin sampai akhir?

Kalo karena udah terlanjur beli karcis, mungkin masih mau nonton terus. Tapi sekalian ngaso, sambil iseng-iseng ngelaba kanan-kiri, atau ikutan penonton lain yang rajin teriak huuuuu…, noraaak…, jayuuuus…, gariiing….

Kalo nontonnya di TV, lain soal. Kalo ceritanya nggak masuk akal, nggak logis, orang nggak perlu terpaksa ngikutin sampai selesai. Tinggal pencet remote, pindah chanel. Kalo acara lain juga nggak menarik, matiin aja TV-nya. Gratis ini…

Tapi,  biarpun nggak masuk di akal akan terjadi dalam realita, misalnya teror bom di Sari Club Bali, toh orang tetap tertarik ngikutin kelanjutan beritanya di TV?  Bukan karena gratis, kan?

Begini. Coba lo pikirin apa yang kira-kira membuat orang tertarik ngikutin kelanjutan teror bom di Bali itu, misalnya? Karena ingin tau duduk perkara dan sebab-musababnya, kan? Karena untuk bisa (atau terpaksa) percaya bahwa kejadian itu masuk akal, orang butuh informasi tentang duduk perkara yang hanya diketahui oleh si pencipta teror, kan? Butuh informasi kenapa itu bisa terjadi. Ingin mendengar analisis para ahli dan lain sebagainya. Dan terorisme, seperti halnya setiap tindak kekerasan yang brutal, pada dasarnya memang menarik untuk ditonton. i

Ya iyalah…

Tapi, pengarang bukanlah teroris. Bukan kriminal yang sengaja ngumpetin sebab-musabab tindakannya, lalu secara tiba-tiba mengejutkan orang banyak dengan action terornya. Sebaliknya, pengarang (cerita film/sinetron) dituntut untuk menjelaskan duduk perkara, sebab akibat, asal mula kejadian dalam “realitas imajinasinya” agar penonton percaya ceritanya emang masuk akal.

Caranya menjelaskan duduk perkara itu gimana?

Caranya ya dengan merangkai informasi tentang duduk perkara cerita menjadi susunan plot atau jalan cerita yang berkesinambungan, saling berkaitan. Supaya kepingan informasi atau kejadian berupa adegan satu dengan adegan lainnya terjalin secara wajar dan logis.

Kalo kepingan informasi  nggak saling berkaitan, atau tiba-tiba ada yang muncul tanpa ada kaitan dengan adegan sebelumnya, penonton akan bingung, atau menganggap itu sebagai sebuah kebetulan.

Kalo cuman satu atau dua adegan, mungkin masih oke. Tapi, kalo sebagian besar adegannya kesannya terjadi secara kebetulan, apakah ceritanya masuk akal? Apa logis?

Kalau kebanyakan serba kebetulan memang aneh ya?

Aneh, dan nggak logis, nggak masuk akal. Menulis skenario bukan meramu sejumlah unsur kebetulan. Bukan menjahit kepingan-kepingan adegan serba kebetulan sehingga suatu cerita bisa terjadi. Kemunculan suatu adegan harus dipersiapkan dengan seksama, misalnya dengan apa yang dalam penulisan skenario  disebut planting information.

Planting information? Apa itu? Ada  contohnya?

Oke. Selanjutnya kita akan bahas planting information dan contohnya sekalian.  Lo ikutin aja artikel ini.*

Avatar photo

About Harry Tjahjono

Jurnalis, Novelis, Pencipta Lagu, Penghayat Humor, Penulis Skenario Serial Si Doel Anak Sekolahan, Penerima Piala Maya dan Piala Citra 2020 untuk Lagu Harta Berharga sebagai Theme Song Film Keluarga Cemara