Oleh HARRY TJAHJONO
Jauh sebelum serial Si Doel Anak Sekolahan (SDAS)meraih sukses fenomenal (1995), opera sabun produksi Australia berjudul Return to Eden yang ditayangkan TVRI tahun 1986, setiap malam Kamis juga mampu membuat jalanan Jakarta menjadi lengang. Tahun 1989, bersamaan dengan lahirnya RCTI dan Programa 2, serial Keluarga Rahmat yang ditayangkan TVRI juga berhasil merebut hati jutaan pemirsa. Tahun 1997, muncul serial Keluarga Cemara yang juga meraih sukses sebagai tontonan popular.
Dalam bab ini, saya merasa lebih adil jika mengutip serial SDAS sebagai contoh kasus. Karena saya terlibat sebagai penulis skenarionya. Di Keluarga Cemara saya jadi Tim Disain Produksi bersama Arswendo Atmowiloto dan Dedi Setiadi. Juga bikin lagu Harta Berharga berdua Arswendo untuk theme-song. Sedangkan tv-play jadul seperti Return to Eden, Keluarga Rahmat dan serial sinetron lawas lain yang saya kutip di bawah, itu karena saya nonton utuh sehingga mengetahui persis jalan cerita dan lain sebagainya.
Saya tidak mengutip serial sinetron masa kini karena tidak pernah nonton. Pertama karena tidak tertarik aja. Kedua karena tayang setiap hari sehingga saya tidak mungkin bisa tertib mengikutinya. Beda dengan serial jadul yang tayang seminggu sekali, sehingga bisa menyiapkan waktu untuk nonton dan mengikuti ceritanya. Jadi, tentu tidak adil jika saya mengutip serial yang tidak pernah saya tonton, kemudian membahas atau bahkan menghakiminya sebagai tontonan yang baik atau buruk. Lebih baik saya mengutip serial yang pernah saya tonton dan kebetulan tontonan itu sukses popular di masanya.
Sukses keempat serial jadul itu pasti karena dibintangi artis-artis terkenal ya?
Nggak juga. Di serial Si Doel, misalnya, artis yang benar-benar terkenal hanya Rano Karno dan Benyamin Suaeb. Aminah Cendrakasih, ketika membintangi Si Doel, popularitasnya sudah pudar. Begitu juga Mandra dan Basuki, mereka justru meraih popularitas setelah tampil dalam Si Doel. Sedangkan Cornelia Agatha dan Maudy malah baru pertama kali berkarier di dunia akting sejak memerankan tokoh Sarah dan Zaenab.
Kalau Return to Eden?
Sebelum Return to Eden ditayangkan TVRI, masyarakat Indonesia sama sekali nggak mengenal Rebecca Gilling, pemeran utamanya. Jangankan pernah melihat wajahnya, namanya saja nggak pernah dengar. Di Autralia sendiri, Rebecca Gilling juga bukan termasuk artis terkenal.
Kalau Keluarga Rahmat dan Keluarga Cemara?
Artis terkenal yang membintangi Keluarga Rahmat adalah Deddy Soetomo. Keluarga Rahmat justru membuat Thenzara Zaidt meraih popularitas dan diidentikkan dengan tokoh Bu Subangun yang ia perankan. Berdasar data dan fakta tersebut, sukses yang diraih ketiga serial itu tentu nggak bisa dikatakan semata-mata karena dibintangi artis terkenal.
Keluarga Cemara bahkan bisa dibilang tidak dibintangi artis popular yang terkenal. Adi Kurdi, pemeran Abah, memang aktor yang handal, tapi popularitasnya kurang. Tokoh pemeran Eius, Agis dan Ara sepenuhnya bintang baru yang baru pertama kali muncul di serial itu. Sedangkan pemeran Emak gonta-ganti dari Lia Waroka, Novia Kolopaking dan Aneke Putri.
Kalo bukan karena dibintangi artis-artis terkenal, lalu apa yang membuat keempat serial itu sukses merebut jutaan hati pemirsa?
Karena cerita keempat serial itu berpijak pada realitas kehidupan sehari-hari, realitas kehidupan keluarga.
Segitu sederhananya?
Memang sederhana, tapi bukan berarti sepele. Sederhana, karena realitas fiksi dalam cerita itu mirip dengan kejadian nyata yang dilihat, yang diketahui atau yang dalam kenyataan hidup sehari-hari bahkan juga dialami oleh pemirsa—juga terjadi dalam kehidupan keluarga pemirsa.
Sederhana, karena “kebenaran” realitas fiksi dalam cerita itu secara lahiriah dapat dilihat atau diperbandingkan dengan realitas faktual sehari-hari.
Sederhana, karena apa yang terjadi dalam realitas fiksi itu logis, masuk akal, sehingga pemirsa percaya bahwa cerita itu “benar” terjadi.
Jadi, serial Si Doel, Return to Eden, Keluarga Rahmat dan Keluarga Cemara itu contoh realitas fiksi yang “kebenarannya” secara lahiriah dapat dilihat dan ditemukan dalam kenyataan hidup sehari-hari?
Betul!
Begitu juga serial Dynasty, Lupus, Meteor Garden dan film atau sinetron lain yang ceritanya realistis dan natural, adalah cerita yang “kebenarannya” secara lahiriah dapat dilihat, mirip dengan yang dialami atau terjadi dalam kenyataan hidup pemirsa sendiri. Dengan begitu pemirsa menganggap ceritanya masuk akal dan dipercaya memang benar terjadi.
Kalo gitu, realitas fiksi yang “kebenarannya” secara lahiriah bisa dilihat itu harus sama persis dengan kenyataan hidup yang sebenarnya, dong?
Nggak harus sama persis. Bahkan film atau sinetron yang ceritanya berdasarkan kisah nyata aja nggak bakalan bisa sama persis dengan kenyataan sebenarnya. Misalnya pelakunya diperankan oleh artis, waktu kejadiannya pun udah lewat, karena berbagai alasan ada bagian yang dihilangkan dan lain sebagainya.
Realitas fiksi yang “kebenarannya” secara lahiriah bisa dilihat itu adalah yang oleh Aristoteles disebut sebagai, “Cerita-cerita yang mungkin terjadi dan memiliki kemungkinan terjadi sesuai dengan hukum-hukum kemungkinan dan keharusan.”
Contohnya?
Si Doel. Meskipun orangtuanya buta huruf, penghasilan Pak Sabeni cuman dari narik oplet, tapi bisa membiayai pendidikan si Doel sampai perguruan tinggi. Dalam kehidupan sehari-hari, kenyataan seperti itu memang langka, tapi bukan berarti nggak ada.
Begitu juga cerita tentang si Doel yang berpegang teguh pada kejujuran—yang setelah jadi insinyur melamar kerja sesuai prosedur, yang menolak tawaran kerja karena pekerjaan yang ditawarkan nggak sesuai dengan disiplin ilmu kesarjanaannya, yang nggak mau nyogok supaya lamaran kerjanya diterima—dalam kenyataan hidup yang serba korup ini emang jarang terjadi. Kalo pun ada, orang seperti si Doel itu malah dianggap nggak realistis.
Tapi, walaupun jarang berarti pernah terjadi. Meskipun dianggap nggak realistis bukan berarti nggak mungkin terjadi dalam realitas sehari-hari. Paling tidak, di antara sejuta sarjana yang ada di Indonesia, mungkin ada satu yang sikap dan kejujurannya seperti si Doel.
Contoh lain?
Serial Meteor Garden yang menceritakan kehidupan jetset anak konglomerat penguasa perekonomian Taiwan. Digambarkan bahwa F4 berkuasa mengatur kehidupan kampus sebuah universitas yang diongkosin orang tua mereka. Dikisahkan bahwa di antara ribuan mahasiswa, cuman ada seorang mahasiswi miskin bernama Shan-Chai yang berani menentang F4. Diceritakan bahwa Dao Ming She jatuh cinta pada Shan-Chai. Dan semua yang ada dalam realitas fiksi Meteor Garden yang lo tonton itu adalah cerita yang mungkin terjadi
Kalo cuman soal mungkin terjadi sih ya jelas mungkin-mungkin aja, dong! Lagian di dunia ini apa sih yang nggak mungkin terjadi?
Betul. Di dunia ini segalanya emang serba mungkin, apa pun emang mungkin saja bisa terjadi.
Lalu apa istimewanya kemungkinan yang terjadi di serial Si Doel itu?
Istimewanya karena kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam cerita Si Doel dan Meteor Garden itu masuk akal.
Mana mungkin ada kemungkinan yang nggak masuk akal?
Ada. Misalnya saja akan nggak masuk akal kalo dalam serial Si Doel itu diceritakan bahwa setelah lulus insinyur, Doel langsung diterima bekerja di perusahaan swasta atau kantor pemerintah dengan status-fasilitas-gaji sesuai gelar akademis dan keahliannya, tanpa harus nyogok, nggak perlu lewat jalur koneksi, juga bukan sedang mujur melainkan karena pemerintah memang sudah menyediakan lowongan kerja yang cukup untuk menampung semua lulusan sarjana. Selain itu, korupsi-kolusi-nepotisme juga sudah berhasil dibasmi sehingga penerimaan pegawai berlangsung secara jujur dan sesuai prosedur.
Itu kan mungkin saja terjadi?
Emang mungkin terjadi, tapi nggak masuk akal.
Kenapa nggak masuk akal?
Karena realitas fiksi yang ideal seperti itu nggak berpijak pada realitas faktual yang amburadul—kenyataan di mana pengangguran melimpah, negeri di mana korupsi-kolusi dan nepotisme mewabah. Dan realitas fiksi yang memanipulasi atau menyulap realitas faktual menjadi realitas ideal seperti itu, “kebenarannya” akan diragukan pemirsa. Lebih celaka lagi kalo pemirsa merasa ditipu, atau merasa kecerdasannya dilecehkan.
Tapi, cerita F4 berkuasa mengatur kehidupan kampus di universitas milik orangtua mereka itu bisa dibilang nggak masuk akal juga, kan?
Siapa bilang nggak masuk akal? Jangankan cuman berkuasa mengatur kehidupan kampus, anak konglomerat yang berkuasa mengatur aparat hukum dan mendikte pejabat pemerintah kan bukan omong kosong? Jangankan di Taiwan, di Indonesia aja juga ada. Banyak, lagi.
Jadi, cerita yang mungkin terjadi itu kemungkinannya harus masuk akal?
Betul! Dalam konteks mengarang cerita yang mungkin terjadi, kemungkinan itu bukannya tanpa batas. Kalo cuman bikin cerita yang asal mungkin terjadi doang, ngapain mesti belajar mengarang?
Perkara setelah dibikin film atau sinetron ternyata nggak ada yang mau nonton, itu soal lain lagi. Kemungkinan yang masuk akal dari membuat realitas fiksi yang tidak masuk akal, produsernya pasti rugi.***