Oleh HARRY TJAHJONO
Urusan sinopsis dan treatment udah kelar, proses penulisan skenario pun bergulir ke tahapmenulis skenario alias screenplay atau TV-play alias script. Menulis skenario adalah mengembangkan kejadian atau plot yang tersusun dalam treatment. Tiap-tiap kejadian yang berlangsung di tempat dan waktu yang sama, dikelompokkan dalam sebuah sequence.
Selain dikasih nomor urut, keterangan tempat dan waktu kejadian, setiap sequence berisi penjelasan mengenai siapa pelakunya, action yang dilakukan pemain, dialog yang diucapkan berikut petunjuk teknis tentang sudut pandang kamera dan lain sebagainya.
Contohnya?
Contohnya seperti yang pernah dibeberkan di bab pertama tentang skenario. Coba dilihat lagi.
Males ah! Minta contoh yang lebih lengkap boleh dong?
Contoh skenario yang benar-benar komplet bisa di lihat di skenario November 1828 karya Teguh Karya, atau skenario Aku karya Syumandjaya, atau skenario Ada Apa dengan Cinta karya Jujur Prananto yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku. Cari, beli dan pelajari.
Kalo cuman nyuruh beli buku buat dipelajari sih bukan kiatlah bo….
Namanya kiat kan nggak harus dilengkapi contoh seutuhnya. Lagian, beli buku skenario juga nggak mungkin bikin jatuh miskin. Penulis yang menafkahi hidupnya dari hasil menulis, biasanya malah punya perpustakaan pribadi. Dengan membaca beberapa skenario secara utuh, kita bisa mengetahui gaya dan ragam bentuk penulisan screenplay. Juga lebih bisa memahami arti dan fungsi istilah teknis semacam CU, MCU, LS dan lainnya. Yang jauh lebih penting lagi, kita bisa menyimak bagaimana Teguh Karya, Syumanjaya dan Jujur Prananto—tiga dari sedikit penulis skenario terbaik di Indonesia—meramu unsur dramatik menjadi cerita yang bagus dan menarik.
Cara meramu unsur dramatik apaan? Lagian yang disebut unsur dramatik itu apa?
Begini. Di dalam tiap-tiap cerita, secara umum selalu terkandung empat unsur dramatik: eksposisi (pemaparan para pelaku dll), komplikasi (konflik), klimaks dan resolusi (penyelesaian) atau kesimpulan. Keempat unsur dramatik itu merupakan modal penulis untuk membuat sebuah cerita yang bagus, menarik dan memikat perhatian pembaca/penonton. Kepandaian bercerita yang dipraktekkan dalam sastra tulis atau lisan dan juga dalam film, identik dengan kepintaran meramu keempat unsur tersebut menjadi apa yang oleh Joseph M. Boggs disebut: ”Struktur dramatik yang kuat, logis dan estetis, agar menghasilkan dampak emosional-intelektual dan dramatik yang maksimum.”
Rumit amat! Namanya kiat tuh jangan kayak bacaan ilmiah gitu ‘napa?!
Dasar males mikir apa emang kebiasaan nggak mau mikir, sih? Baru ngutip dikit pendapat pakar aja udah dibilang ilmiah.
Iya, dong! Lagian yang namanya Joseph siapa tadi…, itu siapa?
Joseph M. Boggs itu penulis buku The Art of Watching Film, yang oleh Asrul Sani diterjemahkan dengan bagus dalam judul Cara Menilai Sebuah Film.
Pernah dengar nama Asrul Sani nggak? Kalo belum ya termasuk tulalit. Asrul Sani itu sastrawan, dramawan, sutradara dan salah satu penulis skenario terbaik Indonesia. Dokter hewan lulusan Fakultas Kedokteran Bogor ini juga dikenal sebagai sahabat karibnya Chairil Anwar.
Pernah dengar nama Chairil Anwar nggak? Kalo belum….
Udah! Penyair Angkatan ’45, kan?
Yak! Tul! Itu namanya….
Udaah…, jangan ngelantur ke mana-mana! Lanjut ke soal kiat meramu unsur dramatik aja lagi….
Yo’i… (ehem!). Jadi begini. Joseph bilang, kebanyakan film fiksi menganut dua cara meramu keempat unsur tersebut menjadi dua pola struktur dramatik. Kedua struktur dramatik itu diberi nama sesuai dengan caranya cerita dimulai, yaitu pola awal ekspositoris atau kronologis dan pola awal in medias res—sebuah istilah Latin yang artinya “mulai di tengah-tengah action”.
Emang nggak ada penjelasan yang lebih gampang dingertiin?
OK. Pola awal ekspositoris atau kronologis itu adalah teknik bercerita secara runtut sesuai urutan keempat unsur dramatik. Cerita dibuka dengan memperkenalkan para pelaku (eksposisi), berlanjut dengan komplikasi konflik yang makin lama tambah rumit dan kompleks sehingga mencapai puncak ketegangan (klimaks). Setelah klimaks, maka konflik pun terselesaikan (resolusi) dan sampai pada akhir cerita (kesimpulan).
Teoritis amat, sih?
Begini ajalah. Pernah didongengi, nggak?
Waktu masih kecil sering….
Nah, pola awal kronologis itu cara berceritanya kurang lebih sama dengan cara orang mendongeng. Biasanya…, orang mendongeng itu kan dimulai dengan pembukaan: “Pada suatu hari, ada seekor kancil berjalan di tepi sungai. Waktu melihat ada keong yang merayap di tanggul, kancil itu tertawa geli, dan seterusnya sampai selesai.”
Menurut lo…, pola atau teknik bercerita seperti itu gimana?
Waktu masih kecil sih dengerinnya asyik.
Kalo misalnya sekarang ada yang bercerita dengan struktur dramatik seperti itu masih asyik nggak?
Emangnya gwe masih kecil? Ya jelas bosen…, garing!
Ya. Pola awal kronologis itu memang bukan pilihan yang pas untuk menarik perhatian. Pola awal kronologis juga membuat jalan cerita terasa lambat dan membosankan. Karena itu, struktur dramatik yang lebih banyak digunakan orang adalah pola awal in medias res: langsung dibuka dengan action, diawali dengan sebuah kejutan, dimulai dengan sebuah peristiwa menarik—misalnya sebuah pembunuhan, sebuah penculikan, tembak-menembak dan kejadian lain yang dianggap bisa menarik perhatian pembaca atau penonton film.
Setelah orang tertarik baca atau nonton trus gimana?
Usahakan agar orang semakin tertarik, semakin ingin tau bagaimana kelanjutannya.
Caranya?
Dengan meramu unsur dramatik yang sudah tersedia di dalam cerita. Bisa dilanjutkan dengan unsur eksposisi—memaparkan para pelaku dan kaitannya. Mungkin dengan teknik flash-back atau kilas balik. Atau dipaparkan sedikit demi sedikit agar penonton menjadi tegang dan menduga-duga kaitan pelaku satu dengan lainnya. Bersamaan dengan itu, konflik pun dibikin makin rumit, sampai klimaks dan seterusnya.
Kenyataannya, jarang sekali struktur dramatik suatu cerita yang disusun runtut secara kronologis. Susunan struktur dramatik yang tumpang tindih juga merupakan hal yang biasa terjadi dalam sebuah film. Bagaimanapun susunannya, yang penting ramuan unsur-unsur dramatik itu bisa terus mengikat perhatian penonton.
Kedengarannya kok sulit amat ya?
Kalo cuman didengerin atau dibaca emang sulit. Belajar menulis itu harus dipraktekkan. Belajar menulis itu seperti belajar naik sepeda. Kalo cuman baca teori naik sepeda, kapan bisanya. Jadi supaya bisa nulis cerita, hidupkan komputer, mulai menulis, menulis dan menulis. Ayo…, praktekkan sekarang juga. Jangan malah bengong! Ntar dikira celengan semar lagi….
Iya, iya…. ***