Bagi pemain sandiwara handal, ketika sutradara memberi arahan skenario mengenai tema cerita, mereka mampu main improvisasi dengan baik. Tapi bagi orang awam yang tidak dibreafing lebih dulu? Hasilnya dipastikan kacau dan berantakan!
Fakta itu sering kita jumpai dalam keseharian hidup ini. Tidak sebatas di lingkungan sekitar, tapi sering disiarkan di tv sebagai tontonan infotaimen yang konyol dan memuakkan. Tapi siapa yang peduli?
Coba tengok realita dan tidak perlu protes, bahwa hukum itu lebih tajam ke bawah daripada ke atas. Apalagi pelanggaran hukum yang dilakukan secara berjamaah. Harap maklum, jika ada pelaku yang dikorbankan itu sebatas sebagai tumbal.
Tumbal, dikorbankan dan dijadikan tumbal itu sungguh menyakitkan. Aib penderitaan itu juga merembet pada keluarga, orang terdekat, dan hal itu sulit dicuci. Sakitnya tidak terperikan. Dan melekat seumur hidup!
Kenapa kita mau dikorbankan dan dijadikan tumbal?
Jangan bilang, kita mau menerima dan menjalani hal itu demi loyalitas, setia kawan, atau demi menjaga martabat junjungan kita.
Tidak seharusnya kita bekerja yang penting ada pekerjaan, ketimbang menganggur, atau demi status agar martabat kita terangkat. Karena kita bekerja ikut orang terkenal, beken, atau pejabat.
Bekerja itu semestinya sesuai dengan passion agar kita dapat mengeksplorasi bakat dan skil ke arah yang benar, sehingga makin terasah dan berkembang.
Tidak semestinya kita bekerja yang didasari dan berorientasi demi uang semata. Apalagi menjual diri demi harta, tahta, wanita, atau nafsu. Sehingga konsekuensinya adalah kita berani menghamba dan rela mati demi junjungan.
Sekali lagi, layak dan sepadankah dengan tugas dan tanggung jawab kita? Adakah kita tidak ingkari hati nurani? Apa kita tega menafkahi keluarga dari hasil yang tidak halal?
Bertanya pada hati nurani itu hukumnya wajib dan penting agar kita tidak salah arah. Tapi kita berjalan pada koridor yang benar dan diridhoi Allah.
Kita harus berani berkata tidak untuk hal-hal yang jahat atau perbuatan yang ingkari hati nurani. Sekalipun diintimidasi dan diancam, kita harus berani berkata jujur dan menyuarakan kebenaran itu. Sesungguhnya, yang kita takuti adalah Allah penguasa semesta alam, tidak pada manusia atau jabatannya.
Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti jatuh juga. Serapi-rapinya orang menyimpan bangkai, pasti tercium juga. Sehebat-hebatnya mengakomodasi berjuta orang, skenario itu tidak bakal sukses.
Pengadilan manusia itu ruwetnya luar biasa, tapi pengadilan Allah teramat sederhana. Dan kebenaran itu tidak membutuhkan pembelaan manusia, karena mutlak milik-Nya.
(Mas Redjo)