Ilustrasi Dito Sugito
Selain Kamasutra yang terbit sekitar tahun 322-298 Sebelum Masehi, bisa jadi hanya Smaragama satu-satunya prosa liris tentang hubungan intim suami istri. Oleh karena itu bagi kalian yang baru pertama kali melakukan hubungan intim suami istri, hendaknya mengetahui wejangan ini. Sebuah wejangan dalam bentuk nyaris seperti puisi, menyerupai prosa liris yang asyik dan jenaka serta dituturkan bait demi bait secara berseri.
Bait Dua: MEMETIK KESUCIAN
Hatta terpenuhilah janji malam pertama, tatkala Sangaji mendengar Salindri, istrinya tercinta, mengaduh kecil sambil memagut, menggigit lehernya, dan kedua lengannya yang licin berpeluh mirip belalat gurita, melilit dalam pelukan sepenuh daya yang tersisa. Sesaat tubuh Salindri meregang dan meronta, demi menahankan rasa ngilu perih terluka, saat kesuciannya diserahkan kepada suami tercinta, dan ketika menyadari dirinya bukan lagi perawan dara, perasaannya terharu-biru, bola matanya berkaca-kaca, dan perlahan, di pipinya yang merona jingga, bergulir butiran bening air mata, mata air bahagia cinta.
Syahdan pada saat yang hampir berbarengan, Sangaji yang juga sampai pada puncak kenikmatan, membalas pelukan Salindri dengan dekapan, sambil perlahan menekankan badan, dan berjuta-juta benih kehidupan, memancar deras di lorong kerinduan, meluncur dalam nikmat surgawi percintaan, dijemput takdir yang telah disuratkan.
Dan kenikmatan surgawi yang maya dan fana, selalu bergegas pergi, senantiasa berlalu segera, bahkan ingatanpun tak sanggup merekam getar rasanya, yang memudar bersama meluruhnya daya tenaga, hingga melemah lemas melunglai sekujur raga, sedangkan jiwa beroleh pencerahan yang nyata, lantaran beban yang mendera akal pikiran telah sirna, tersapu rasa puas dan bahagia.
Maka laksana sehelai sutra bermandi hujan, Sangaji tengkurap menindih Salindri dalam dekapan, dan perlahan-lahan beringsut turun, melepaskan pelukan, lalu menelungkup diam, badannya menggigil gemetaran, mirip tentara saat pertama kali diterjunkan, di garis depan medan pertempuran, langsung tiarap rata dengan rerumputan, sambil membabi buta melepas tembakan, tanpa membidik ke arah sasaran, sampai terpicu peluru penghabisan, dikalahkan kebodohan.
Namun bukankah dalam semua kenangan, setidaknya di dalam masa kecil yang tak terlupakan, selalu ada kejadian dungu atau suatu kebodohan, yang tak perlu dibayar dengan penyesalan? Bukankah yang terekam dalam pengetahuan, atau yang membuahi permenungandan mengilhami daya penalaran, sesungguhnya juga kesalahan dan pengalaman?
Seandainya Salindri dan Sangaji tak tergesa-gesa, dan mampu menjinakkan gairah birahi yang menggelora, tentu akan ada waktu bagi mereka berdua, membaca tuntas Bab Pertama Kitab Smaragama, yang dengan gamblang membukakan pintu rahasia tentang bagaimana memetik bunga kesucian sang dara secara seksama, terkendali, dan bijaksana.
Dan seperti hendak membuktikan keajaibannya, tiba-tiba Kitab Smaragama terbuka dengan sendirinya, dan kata-kata di dalamnya mendadak bisa bicara:
“Apabila malam pertama perkawinan, menjadi sebuah malam yang amat menyakitkan, sampai menyayat dan melukai jaringan ingatan, maka pedihnya akan menjelma berkelanjutan, memusnahkan nikmat persenggamaan, meracuni gairah percintaan dan menghadirkan bayangan yang mengerikan.”
“Karena itulah malam persembahan perawan, hendaknya dilaksanakan secara perlahan-lahan, berawal dari sentuhan-sentuhan kelembutan, berlanjut dengan peluk cium kemesraan dan pastikan seluruh usapan dan belaian yang menjelajah wilayah rawan di sekujur badan, tak hanya sekadar persentuhan kulit permukaannamun juga melibatkan emosi, jiwa, dan perasaan.”
“Lakukanlah seperti jika sepasang penari yang sekaligus juga penata koreografi, sedang mengarungi samudera inspirasi dan mencipta gerakan sesuai kata hati.”
Dapat pula kau petik pengetahuan tentang tata cara menabur benih kehidupan, dari naluri petani yang berguru pada pengalaman dan mempunyai kemampuan memastikan kapan saatnya cangkul mulai diayunkan dan kapan pula saatnya benih ditaburkan. Sekalipun layak disebut manusia perkasa, para petani tahu dan memahami bahwasanya: mencangkul tanah kering perlu tenaga ekstra yang akan membuat telapak tangan terbeset luka, dan membuat benih yang ditabur mati sia-sia.”
“Nalar petani memang teramat bersahaja, namun justru di dalam logika yang sederhana, suatu kebenaran bisa hadir sebagaimana adanya sehingga mudah pula dimengerti maknanya. Karena mengerti maka ada saling pengertian bahwa keindahan dan nikmat malam pertama pernikahan terletak pada kemauan dan kerja sama kedua pasangan. Dan saling pengertian akan melahirkan pemahaman tentang malam pertama pernikahan.
“0tak hanya menuntut suami mempunyai pengetahuan tentang bagaimana cara terbaik memetik kesucian, tapi juga mengandung sejumlah keharusan yang harus dilaksanakan sebagai kewajiban bagi si istri di saat mempersembahkan keperawanan”
Demikianlah wejangan Kitab Smaragama tentang seks yang indah, yang akan dilanjut dalam Bait Tiga: PERSEMBAHAN PERAWAN. ***