Oleh HERMAN WIJAYA
Beberapa hari terakhir ini tengah ramai di media, tulisan mengenai pendapat mantan personil grup musik Noah, Uki. Dalam unggahannya di kanal youtube Belajar Sunnah (sejak 25 Maret 2001) pria bernama lengkap Mohammad Kautsar Hikmat ini mengatakan bahwa musik dan hal-hal haram saling berkaitan.
Menurutnya, apabila seseorang tidak lagi berurusan dengan musik, otomatis ia juga akan menutup pintu-pintu berbau haram atau hal yang dilarang.
“Jadi dari segi musiknya, karena ketika musik itu gak kalian lakukan, otomatis kalian menutup pintu khamar (minuman keras), rokok juga, terus bercampur dengan wanita. Ya, jadi dengan menutupnya pintu musik dan industri musik, kalian itu menutup banyak hal yang sifatnya mudharat (merugikan),” tutur Uki.
Dalam “ceramah” pendek yang disampaikannya tentang musik, Uki mencampurbaurkan antara musik dan perbuatan berdosa. Seolah keduanya menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan. Dia menyimpulkan seorang yang bermain musik / menikmati musik pasti akan berbuat dosa. Jika tidak ingin berdosa jauhilah musik. Begitu kira-kira.
Bisa jadi Uki hanya ingin menyindir teman sekaligus pimpinannya di grup musik dulu, Ariel. Tetapi mengapa jadi digeneralisir?
Di dunia ini banyak sekali benda yang bisa membuat orang berdosa. Buah di sorga saja bisa membuat Hawa berdosa. Itu sama saja dengan barang-barang lain di rumah seperti sapu, pisau dapur, racun tikus, tali rafia, sepatu, atau bahkan telepon genggam juga bisa membuat orang berdosa. Tergantung bagaimana orang menggunakannya: untuk tujuan positif atau negatif?
Pertanyaannya kemudian, yang salah itu barang-barang yang bisa membuat orang berdosa atau perilaku manusianya?
Kembali ke soal musik. Jauh sebelum Uki atau Noah lahir, bahkan The Beatles, Tilman Brothers atau para negro yang memainkan musik blues ketika baru datang ke daratan Amerika, sudah ada musik. Di jaman nabi juga ada musik. Daud, salah seorang Raja Israel yang juga disebut nabi oleh Umat Islam, ketika muda adalah seorang pemain musik di istana raja. Belakangan dia malah menciptakan syair-syair yang dinyanyikan.
Musik di jaman Daud adalah sarana untuk menyampaikan puji-pujian kepada Yahweh (Allah pencipta langit dan bumi), selain untuk hiburan. Banyak doa-doa panjang yang disampaikan dengan cara bernyanyi.
Saat Raja Saul merasa gundah dan resah, Daud datang dengan harpanya dan memainkan refrein-refrein merdu dan teduh yang menenangkan hati sang raja. Pikiran-pikiran buruk yang mengganggu Saul lenyap dan keresahannya pun reda.—1 Samuel 16:16.
Pada masa itu di Israel, musik menjadi sarana yang dapat menggugah pikiran dan membuat para nabi bisa menerima hal-hal rohani.
Dalam Kitab 2 Raja: 3:15 terulis: Setelah mendengar bunyi alat musik bersenar, Elisa memperoleh ilham ilahi.
Musik juga digunakan untuk menandai peristiwa-peristiwa dalam kalender. Bulan-bulan baru dan hari-hari raya diumumkan dengan bunyi dua terompet perak. Pada hari Yobel, bunyi tiupan tanduk mengumandangkan kebebasan bagi para budak dan dikembalikannya tanah serta rumah kepada pemilik aslinya. Betapa bersukacitanya orang-orang miskin ketika mereka mendengar musik yang mengumumkan kebebasan atau kembalinya harta milik mereka!—Imamat 25:9; Bilangan 10:10.
Bagi umat Kristen, musik tak bisa dipisahkan dalam peribadatan. Doa dan puji-pujian ibarat dua sisi mata uang.
Sejarah penggunaan musik untuk puji-pujian sudah berlangsung lama sekali. Pada abad ke-9 dan 10, lahir tradisi membawakan syair-syair pujian dalam lagi, yang kemudian dikenal dengan sebutan musik / Kidung Gregorian. Disebut begitu karena diciptakan oleh Paus Gregorius I.
Dunia Arab juga mengenal musik. Menurut Philip K Hitti dalam History of The Arabs, lantunan himne keagamaan primitif telah memberikan pengaruh saat Islam datang. Hal ini nampak dalam talbiyah ritual haji, yakni ucapan “labbaika” para jamaah haji. Selain itu, tampak juga dalam lantunan tajwid saat membaca Alquran.
Dalam hal alat musik, kata Hitti, masyarakat Arab pra-Islam di Hijaz telah menggunakan duff, yakni tambur segi empat; qashabah atau seruling; zamr, yakni suling rumput; serta mizhar atau gambus yang terbuat dari kulit.
Sejak tahun 80an hingga saat ini, pemusik dangdut Rhoma Irama terus berdakwah melalui lagu-lagunya. Karena itulah dia mendapat julukan The Voice of Islam.
“Musik adalah alat saya untuk menyampaikan dakwah Islam. Musik adalah pedang untuk menjalankan nahi munkar!” kata Rhoma Irama ketika saya wawancarai, tahun lalu.
Jadi di mana letak haramnya musik?
“Menurut Jalaludin Rumi, musik yang diharamkan dalam Islam itu adalah ketika suara piring ketemu dengan sendok, dimainkan oleh orang kaya dan didengarkan oleh orang kelaparan. Itulah musik yang diharamkan dalam Islam,” kata pendakwah eksentrik Gus Miftah dalam sebuah unggahan video pada Selasa (27/7/2021).
Jadi dalam soal bermusik, ada dua pemahaman dari dua orang pemusik yang sama-sama mendalami agama Islam. Pastinya, keduanya juga telah menikmati hasil yang lumayan besar dari dunia musik.
Jadi pendapat siapa yang harus diikuti?
Saya pribadi mau ikut Rhoma Irama sajalah. Biar saja Uki larut dalam dakwahnya…
Aku mau bicara soal musik
Tentu saja bagi penggemar musik
Di mana-mana di atas dunia
Banyak orang bermain musik
Bermacam-macam itu jenis musik
Dari yang Pop sampai Klasik
Dst.
(Lirik lagu Musik karya Rhoma Irama)