Ketika manusia memperebutkan sebuah jabatan, misalnya, masing-masing lalu menggunakan jurus aku yang lebih baik. Berbagai teknik digunakan untuk memengaruhi opini orang bahwa dialah yang lebih baik. Oleh karena itu, dia lebih layak untuk dipilih. Baliho, spanduk, brosur, stiker, iklan, dan berbagai macam teknik komunikasi massa digunakan untuk menyatakan saya lebih baik dari dia.
“Jes, koq sekarang tidak lagi aktif ikut kegiatan itu?“
Jawabnya mengejutkan, “Iya Om. Evaluasi diri dulu. Kata Mama dan teman-teman, sejak saya aktif dalam perkumpulan itu saya jadi berubah. Menurut mereka, saya kini cenderung tampil sebagai yang lebih cerdas, dapat diandalkan, perhatian, jujur, dan ramah daripada orang lain. Dan, saya merasa demikian.”
Lanjut ia, “Apakah ini fenomena yang dikenal sebagai ‘efek lebih baik dari rata-rat'”, ya Om?Apakah ini sebuah kesombongan?“
Efek merasa lebih baik dari orang lain yang tak terkendali dapat menjadi bibit kesombongan.
Sombong adalah penyakit yang dapat menghinggapi kita semua, benihnya kerap muncul tanpa kita sadari.
Di tingkat pertama, sombong disebabkan oleh faktor material, merasa lebih kaya, lebih rupawan, dan merasa lebih terhormat daripada orang lain.
Di tingkat kedua, sombong disebabkan oleh faktor intelektual, merasa lebih pintar, merasa lebih kompeten, dan merasa lebih berwawasan dibandingkan orang lain.
Di tingkat ketiga, sombong disebabkan oleh faktor spiritual, sering menganggap diri sendiri lebih bermoral, lebih pemurah, dan lebih tulus dibandingkan dengan orang lain.
Yang menarik, makin tinggi tingkat kesombongan itu, makin sulit dideteksinya. Sombong oleh materi mudah terlihat, namun sombong karena kecerdasan, apalagi sombong karena hal rohani, sulit terdeteksi karena sering hanya berbentuk benih-benih halus di dalam batin kita.
Setiap orang memiliki cara yang unik untuk berproses menemukan jati dirinya. Yang penting ada jeda untuk memastikan bahwa arah jalan kita benar dan kita berjalan di jalan itu.
Salam sehat dan tetap semangat berbagi berkat.
Penulis: Jlitheng