SOSOK : Megawati

Oleh ERIZELI JELY BANDARO

Anda bisa bayangkan, seorang ibu. Dia tidak berasal dari cendikiawan, bukan pula pengusaha atau militer atau ustadzah. Dia hanyalah ibu rumah tangga. Karir politiknya diawali di zaman dimana perbedaan dan demokrasi itu haram. Ketika orang takut terhadap rezim Soeharto, dia melawan. Tak sedikit kadernya mati dan diculik. Dan dari semua rintangan dan kezoliman yang dia terima itu, toh dia berhasil meniupkan Pluit reformasi menjadi gelombang demokrasi dari kaum muda. Soeharto pun jatuh.

Dia pun terpilih menjadi presiden. Keseharian, walau presiden dia tetap seorang ibu yang harus selalu ada untuk putra putrinya serta suaminya. Bagi pria memang tidak mudah bisa berpikir multi task seperti itu. Tapi wanita memang punya kelebihan mampu berpikir hal yang berbeda pada waktu bersamaan. Gus Dur pernah berkata kalau dia banyak bicara tetapi wakilnya malas bicara. Waktu jadi presiden, Megawati dalam rapat kabinet tidak banyak bicara. Tetapi kalau dia bisa membuat keputusan yang tak mudah diubah orang.

Ada tiga catatan saya tentang sikap Megawati selama jadi presiden.

Pertama. Di era Megawati keputusan divestasi Freeport dikeluarkan sesuai PP 45/2003. Sebelum ada kejelasan dari Freeport, operasi tambang dihentikan. Tapi selama Megawati berkuasa, tarik ulur Freeport terus terjadi sementara Megawati tidak pernah berubah sikap. Freeport kembali beroperasi setelah Megawati berhenti dan digantikan oleh SBY. PP 45/2003 diganti oleh SBY. Barulah di penghujung kekuasan periode kedua SBY teken MOU divestasi Freeport.

Makanya 2015, Megawati sempat ngomel ke Jokowi ketika kasus Freeport ribut terus dan tidak jelas arahnya. “ Hanya Freeport, ya Allah, enggak salah, ributnya panjang kayak gini? Urusan Freeport itu baru satu, lho. Mereka sudah ambil berapa saja?” kata Megawati. Itu sebagai sikap kekawatiran Megawati sepeti era dia berkuasa yang akhirnya dijegal oleh politik. Artinya, Jokowi harus selesaikan cepat. Jangan sampai jabatan habis, misi itu gagal.

Kedua. Masalah BLBI. Karena sikap kakunya Megawati dengan IMF, terpaksa IMF lobi kepada ketua MPR agar skema MSAA diterapkan kepada obligor BLBI sebagai syarat dikeluarkannya SKL( surat keterangan lunas). Ketua MPR Amin Rais keluarkan tap MPR Nomor VI/MPR/2002 tentang rekomendasi yang berkaitan dengan perjanjian PKPS (Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham). Itu sama saja ditodong. Maklum kekuasan tertinggi ada pada MPR. Atas dasar itulah Megawati keluarkan inpres No.8 Tahun 2002. Karana itu tahun 2003 IMF ditendang oleh Megawati. IMF juga harus mendukung exit strategi dari kebijakan sektor keuangan agar dalam jangka panjang Indonesia tidak dirugikan.

Ketiga. Setelah IMF keluar, Megawati teken Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi untuk menjaga stabilitas ekonomi makro. Ini paket yang sangat luas dan mendasar, dari perbankan, Asuransi, pasar modal, perpajakan. Termasuk Sistem jaminan sosial nasional, pembentukan KPK.

Hasilnya? Megawati bisa membalik situasi negatif menjadi plus. Kurs Rupiah yang semula Rp. 9.800 (2001) menjadi Rp. 9.100 (2004), tingkat inflasi menurun dari 13,1% menjadi 6,5% sedangkan pertumbuhan ekonomi naik 2%. Setelah SBY berkuasa, kebijakan itu dijadikan dasar SBY mensuplai M2. Tapi lebih banyak dihabiskan untuk subsidi BBM. Bukan bangun infrastruktur. Menurut JK, total subsidi BBM mencapai Rp 3,000 triliun selama 10 tahun. Era SBY hutang berambah 10 kali dibanndingkan era Megawati. Padahal Megawati menanggung Beban BLBI sebesar Rp 600 triliun.

Kesimpulan. Soal Freeport, pionir penyelesaian itu di era Megawati. Yang membuka kembali Freeport adalah SBY. Dan menjelesaikan divestasi adalah Jokowi. Soal BLBI itu kebijakan konstitusi ( MPR). Potensi kerugian negara Rp 3,000 T. Megawati hanya melaksanakan saja. Berlarutnya masalah BLBI itu era SBY dan kini Jokowi selesaikan dengan membentuk satgas BLBI. Era SBY kita lost opportunity sebesar Rp 3000 triliun untuk hanya dibakar dalam subsidi BBM.

Avatar photo

About Erizeli Jely Bandaro

Penulis, Pengusaha dan Konsultan