Seide.id –Siapakah Raden Saleh?
Raden Saleh merupakan salah satu tokoh penting dalam perkembangan seni rupa di Indonesia.
Mengutip dari buku karangan Peter Carey dan Harsja W Bachtiar yang berjudul “Raden Saleh, Anak Belanda, Moi Indie & Nasionalisme” informasi terkait biografi Raden Saleh yang diperoleh yaitu beliau lahir pada tahun 1811 di Terboyo, Semarang, Jawa Tengah dan merupakan bangsawan keturunan dari Kyai Bustam (1681 – 1759) yang merupakan residen Terboyo dan pendiri keluarga Bustaman (keluarga yang berhasil dicetak sebagai residen, patih, dan anggota utama kelas priyayi).
Masa kecil beliau dihabiskan di kediaman pamannya yaitu Adipati Suoero Menggolo yang merupakan Bupati Semarang di Terboyo.
Paman beliau merupakan seorang pamong yang berpikiran luas dan maju, salah satu anggota perkumpulan pejabat tinggi Belanda eksklusif Javaansch Weldadig Genootscap (masyarakat filantropi).
Kedekatan dan aktivitas sang paman dengan para pegawai Belanda yang membuat hal tersebut dikaitkan sebagai pendorong Raden Saleh tertarik dengan dunia lukis.
Bagaimana Raden Saleh mengawali profesi sebagai pelukis?
Pertemuan Raden Saleh dengan pelukis berdarah Belgia yang bernama “Antonie Auguste Joseph Payen” di Cianjur membuka jalan beliau menjadi seorang pelukis professional.
Antonie Auguste Joseph Payen sendiri merupakan pelukis seni pemerintah yang bertugas melukis botani atas arahan professor C.G.C Reinward.
Raden Saleh mengembangkan bakat melukisnya dengan tinggal bersama Joseph Payen di Bogor sehingga pada tahun 1829 keluarga kebangsaan Belgia yang bernamap Jean Baptiste de Linge membawa beliau ke Eropa.
Biaya hidup Raden Saleh sendiri didanai oleh “Javaansch Weldadig Genootschap” dan kas kolonial sehingga secara tidak langsung beliau merupakan anak negara yang segala aktivitasnya dibawah pengawasan Kerajaan Belanda melalui Direktorat Urusan Koloni Timur yang dipimpin oleh Jean Chretien Baud.
Bagaimana rekam jejak Raden Saleh di bidang Arkeologi?
Selain berkiprah dalam dunia seni lukis, Raden Saleh bersama rekan sesama pelukis yang bernama Frans Wilhelm Junghuhn memiliki ketertarikan dalam dunia arkeologi.
Hal ini dibuktikan dengan penemuan mereka atas fosil-fosil yang berada di Pegunungan Patiayam.
Dalam buku “Melacak Jejak Kehidupan Puba di Patiayam” karangan Siswanto, Yahdi Zaim dan Sofwan Noerwidi disebutkan jika kedua naturalis tersebut melakukan pengumpulan fosil selain dari Pegunungan Patiayam juga dari Pegunungan Kendeng.
Penemuan fosil-fosil vertebrata oleh Raden Saleh dan Frans Wilhelm Junghuhn pada tahun 1857 merupakan suatu fenomena yang membuat masyarakat heran. Keheranan tersebut dilatarbelakangi oleh keadaan masyarakat yang belum pernah atau belum terbiasa melihat benda yang berupa tulang-tulang dalam ukuran besar sehingga tulang-tulang tersebut mereka namai dalam bahasa Jawa sebagai “balung buto”, atau dalam bahasa Indonesia yang berarti tulang raksasa.
Penulis: