Sowan ke Rumah Sastrawan dan Kyai Ahmad Tohari

Oleh DIMAS SUPRIYANTO

Seide.id, bersama Sastrawan Ahmad Tohari, Sutrisno Buyil Forwan dan pegiat sastra Banyumas Heri Sutrisno

PADA usia 74 tahun, Kyai Ahmad Tohari masih nampak bugar. Runtut dan lembut bicaranya. Sastrawan Indonesia terkemuka yang kondang dengan novel trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk” ( rilis 1982) ini tinggal di rumahnya yang asri di desa Tanggar Jaya, Jatilawang – Banyumas, Jawa Tengah, di pinggiran jalan raya jalur selatan, menuju Jogyakarta.

Rumahnya yang resik tertutup banyak pepohonan dan bersebelahan dengan Paud, aula dan mushala di bagian belakangnya. Di balik rerimbunan sekitar rumah, ada kolam ikan juga, katanya. Selain kebun buah buahan.

Dalam rangkaian “Jelajah Cinta”, sebagai pecinta sastra dan GUSDURian, kami sowan petang itu – saya datang bersama sahabat saya masa remaja, Drs. Heri Suritno, pensiunan kepala sekolah SD Purwodadi dan aktifis sastra dari Prembun – Tambak, Banyumas. Ikut juga adik saya, Sutrisno Buyil, yang selama ini menjadi Ketua Forwan – forum wartawan hiburan di Jakarta.

Kedatangan saya sore itu, merupakan yang ke dua kalinya, setelah kedatangan pertama, dua tahun lalu, tak bertemu. Karena mendadak, sekadar mampir, tapi beliau sedang ada acara di luar kota.

Kami saling mengenal sejak 35 tahun silam. Sejak Mas Ahmad Tohari – demikian saya memanggilnya dulu – masih sebagai redaktur majalah “Amanah” , media religi dari Grup Kartini di Jl. Kramat Raya VI, Jakarta Pusat.
Saat itu, saya masih wartawan di koran kota. Sebetulan mas Tohari sekantor dengan ibunya anak anak.

Sebelumnya Ahmad Tohari merupakan jurnalis di koran harian “Merdeka” (BM Diah) dan majalah “Keluarga”.
Tak banyak berubah dari wajah penuh senyum yang menyambut dulu, demikian juga saat pertemuan kami, selang berpuluh tahun kemudian – Kamis siang lalu. Ikut menyambut, Ny. Siti Syamsiah (69) isterinya, yang memberikannya empat anak, yang juga ramah tamah.

Ronggeng Dukuh Paruk dari novel ke film.

“Ronggeng Dukuh Paruk masuk cetakan ke 17, “ jawabnya ketika kami menyinggung lagi ‘karya masterpeace’-nya ditulis tahun 1981 dan rilis di tahun berikutnya. Kami dibawa ke aula kecil, di sebelah rumah utama, banyak meja dan bangku – nampaknya tempat pertemuan dan rapat-rapat. Nampak di dinding sejumlah foto dirinya, lukisan, juga foto bersama Presiden Jokowi dan Presiden Gus Dur.

“Jelek jelek gini pergaulan saya sekelas presiden, “ katanya sembari terkekeh.

Tak ada maksud menyombongkan diri, meski Ahmad Tohari memang harus dikenal oleh para presiden dan para petinggi negara republik ini. Karya karya dari sastrawan kelahiran 13 Juni 1948 ini sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris, Jerman, Belanda, Jerman, Spanyol, Italia, China dan Jepang. Kurang hebat apa?

Dia jelas “orang penting” dalam jagat sastra Indonesia, selain Pramoedya Ananta Toer, Sutan Takdir Alisyabaha, NH Dini, dan WS Rendra. Anda belum layak disebut pecinta karya sastra Indonesia, jika belum membaca trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk” dan karya sastra Ahmad Tohari lainnya.

Selain santun dia berpembawaan sederhana, bicaranya pelan, runtut dan berisi. Penampilannya pun bersahaja, khas kyai kampung.

Karena kesederhanaannya itu, Ahmad Tohari sempat mendapat pengalaman tak meyenangkan. Ditolak masuk hotel berbintang di ibukota, tempatnya menginap pada acara pertemuan sastra.

“Dengan pakai kupluk begini, dikiranya saya mau minta sumbangan, “ katanya, memamerkan kopiah bututnya.

“Saya kasi unjuk surat undangan, dan bilang: ‘ini saya datang diundang sama boss-mu, Jacob Oetama’, “ katanya kepada ‘front office’. Dia mengaku lelah setelah menempuh perjalanan panjang dan langsung emosi saat mendapat sambutan tak ramah dari petugas Hotel Santika (Kompas Grup) di Slipi, tempatnya diinapkan selama di Jakarta.

Trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk” : “Catatan buat Emak” “Lintang Kemukus DInihari” dan “Jantera Bianglala” adalah novel yang saya baca sebelum ketemu penulisnya. Saya hanya membaca sekali dan tak mengulanginya. Saat terbit dalam versi satu buku, pada edisi berikutnya, saya beli dan baca sekilas saja.

Saya tak kuat membacanya. Penuh kepedihan. Kenanga gelap, mengisahkan desa miskin, terbelakang, dalam krisis politik paska 1965 – yang semoga saja tak terulang kembali di hari ini maupun ke depan.

Selanjutnya Srintil yang jadi bulan bulanan

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.