SRINTIL adalah penari ronggeng yang memberikan harapan pada Dukuh Paruk, sekumpulan warga di gerumbul desa, dengan keyakinan khas. Kejawen. Sebagai ronggeng, Srintil juga menjalani profesi sebagai pembimbing bagi pengantin baru yang memasuki dunia dewasa, dalam sebutan khas: “Bukak Klambu”. Srintil mengajari pengantin laki laki bagaimana cara berhubungan seks saat menikah.
Dengan setting awal 1960-an, popularitas Srintil dan grup ronggengnya menarik perhatian PKI dan organisasi pendukungnya. Mereka dibujuk agar menjadi bagian dari mereka.
Lalu datanglah gelombang revolusi di Jakarta, gegeran 1965, perubahan drastis, yangmengubah kehidupan masyarakat Indonesia, hingga ke desa Dukuh Paruk. Pedukuhan dibakar, para penabuh calung ditahan tentara. Srintil dianggap sebagai bagian dari partai terlarang dan tubuhnya menjadi permainan dan bulan bulanan para tentara serta pejabat lokal. Sangat mengenaskan.
Srintil adalah perempuan Jawa, perempuan Indonesia yang akibat keluguannya, menjadi korban permainan politik elite, baik elite Jakarta maupun elite lokal. Ratusan ribu perempuan Jawa dan Indonesia senasib dengannya. Penjara Bukit Duri Jakarta, Plantungan, Pulau Buru dan lainnya, menjadi saksi zaman yang sangat kelam.
Kisah “Ronggeng Dukuh Paruk” sudah diangkat ke layar perak. Pada film pertama, tahun 1983, “Darah Mahkota Ronggeng “ sosok Srintil diperankan oleh bintang Indo, Enny Beatrice. Pada film ke dua, tahun 2011, dengan judul “Sang Penari diperankan oleh aktris Prisia Nasution. Film “Sang Penari” karya sutradara Ifa Ifansyah meraih 10 nomine dan empat Piala Citra FFI 2011.
JIKA membaca Srintil tanpa mengenal penulisnya, Anda akan mengira pengarangnya seorang sastrawan “murni” yang memiliki kepiawaian penulis, membius pembaca dengan pemahaman budaya yang mendalam, khususnya pada budaya Jawa abangan dan berpenampilan khas Kejawen.
Belakangan terungkap, penulisnya adalah seorang santri, Nahdliyin dan kemudian dekat dengan Gus Dur. Santri dan Kyai yang bersimpati pada kaum abangan.
Tak hanya trilogi Srintil, tokoh tokoh cerita dalam novel dan kumpulan cerpen berikutnya juga merujuk pada kehidupan desa, kaum abangan. Anda bisa membacanya lewat novel “Kubah” (1980), “Bekisar Merah” (1990), “Belantik” (1993), “Lingkar Tanah Air” (1991), dan “Orang orang Proyek” (2002).
Ahmad Tohari juga merilis kumpulan cerpen “SenyumKaryamin” (1987), “Nyanyian Malam” (1994), “Mata yang Enak Dipanjang” dan “Rusmi Ingin Pulang “ (2015). Sedangkan tiga kumpulan esainya, bertajuk “Berhala Kontemporer” (1985), “Mas Mantri Gugat” (1996) dan “Mas Mantri Menjenguk Tuhan” (1997).
Menjelang Magrib, kami mendapat suguhan mie godok khas Banyumas. Mie pipih lebar, dengan kuah panas dan aroma khas, campuran gurih, manis dan pedas, dengan penyajian piring lawasnya – membangkitkan kenangan masa kecil, awal 1970-an, ketika sering diajak kondangan almarhum ibu. Rasa mie yang sangat sedap dan nostalgis, membuat kami lahap menyantapnya. Habis tandas.
Seanjutnya, Kyai Ahmad Tohari dan Kesibukan kini