Sowan ke Rumah Sastrawan dan Kyai Ahmad Tohari

APA kesibukan Pak Ahmad Tohari kini?

Yang ditanya memamerkan majalah “Ancas”, majalah bulanan dalam bahasa Jawa Banyumasan yang diterbitkannya sejak 2010 lalu. “Saya jadi pemimpin umum di sini. Gaji saya sebulan Rp1,5 juta, “ katanya dengan tawa.

Satrawan peraih penghargaan Sastra “Rancage” (2002), Anugerah Kebudayaan Presiden (2010) dan “Barkrie Award” (2015) dengan hadiah Rp. 250 juta ini, meneruskan kegiatan menulisnya, menyajikannya dalam kolom khas. “Uang dari Aburizal Bakrie saya masukkan ke bank dan ngambil bunganya aja, buat nyambung hidup, “ katanya.

Ahmad Tohari, dari santri, menjadi wartawan, sastrawan dan kini memimpin pesantren sebagai kyai .

Ahmad Tohari membanggakan anak anaknya yang sudah mentas, ada yang jadi dokter ada yang kerja perguruan tinggi. Seorang di antaranya menikah dengan non muslim. Ahmad Tohari tak mempermasalahkan, mempersilahkan kepada anaknya yang menjalani. “Tapi atas kesadaran sendiri, menantu saya masuk Islam, “ kata kyai dan pengasuh pondok pesantren ini.

BEDUG mushala berbunyi, tanda Magrib tiba, adzan berkumandang. Dia minta izin shalat, semua rekan kami mengikuti. Sedangkan saya menunggu di aulanya. “Nggak apa, sampeyan di sini saja. Saya liberal, kok, “ kata Kyai pengasuh Pesantren Al Fallah ini, dengan senyum ramahnya.

Hari sudah gelap ketika kami pamit, dan dilepas dengan lambaian tangannya. Dia menyetujui usulan sahabat saya, Heri Suritno, aktifis sastra dan penulis puisi dan cerpenis, yang meminta saya menulis kolom dan laporan di majalah “Ancas”, dalam bahasa Jawa Banyumasan.

Saya menyanggupi – menganggapnya sebagai kehormatan – meski bingung juga bagaimana memulainya. ***

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.