Srikandi Boru Pandiangan

OLEH : NESTOR RICO TAMBUN

Membaca buku “Ayahku Si Singamangaraja XII, Pahlawan Nasional” karya Ompung Poernama Rea Boru Sinambela, saya amat sedih membayangkan betapa pasukan dan keluarga Pahlawan Nasional itu tercerai-berai dikejar dan dikepung satuan-satuan pasukan Marsose yang dipimpin Kapten Christoffel.

Sebagian anggota keluarga tertangkap, termasuk Ibunda RSSM XII Boru Situmorang. Beberapa anak yang masih dikecil terpaksa dititipkan kepada para Partaki (Raja Huta) yang setia kepada perjuangan Sang Raja.

Satu hal yang mengejutkan saya, ternyata dalam perjuangan selama hampir 30 tahun itu, selain para panglima dan prajurit pria, ada juga srikandi-srikandi. Mereka berlatih menggunakan senjata dan ikut berperang.

Putri Lopian termasuk Srikandi. Berbeda dengan kakak-kakak dan adik perempuannya, sejak awal dia agak tomboy, lebih banyak bergaul dan belajar dari pejuang pria. Salah seorang srikandi itu yang disebut Ompung Poernama dalam bukunya bernama Rimpun. Satu lagi Boru Pandiangan (tanpa nama), berasal dari Ronggur Nihuta, Samosir.

Rimpun ikut tewas dalam pertempuran terakhir di kaki gunung Sitapongan, bersama Putri Lopian, dan panglima-panglima dari Aceh, seperti Nyak Bantal, Matsawang, dan lain-lain dan dikuburkan di hutan itu. Tapi srikandi Boru Pandiangan dikatakan berhasil meloloskan diri.

Saya terpaku mengetahui informasi itu. Kemana perginya srikandi Boru Pandiangan ini? Seandainya orang bisa bertemu dia, pasti banyak fakta sejarah dari perjuangan RSSM XII bisa terungkap. Tapi logikanya, dalam masa-masa panjang pemerintahan kolonial Belanda, setelah RSSM XII gugur, pastilah dia menyamarkan diri.

Saya sempat bertanya-tanya kepada berbagai pihak, termasuk di Samosir. Ada yang menyebut srikandi itu menikah dengan marga Sidjabat dan tinggal sekitar Tomok-Lontung. Suaminya masih tergolong kerabat Prof. W.B. Sidjabat, yang menulis buku “Ahu Si Singamangaraja”. Tapi sampai sekarang saya belum sempat melakukan investigasi mengenai hal itu.


Dari tulisan, foto-foto, dan siaran video TIM 11 yang melakukan Aksi Jalan Kaki #AJAKTUTUPTPL, saya agak kaget mengetahu ada seorang anak gadis bernama Agustina Boru Pandiangan, yang menjadi teman dan pendamping Oni dalam perjalanan Tim 11. Melihat fotonya, saya merasa seperti mengenalnya. Setelah Oni menulis tentangnya, baru saya ingat, kami pernah bertemu di Festival Literasi di Tomok, Samosir, Juli 2019.

Agustina lahir di Pandumaan, Humbang Hasundutan. Ia tahu benar bagaimana perjuangan orangtua-orangtua masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta mempertahankan hutan adat tombak haminjon (hutan kemenyan) mereka dari TPL.

Perjuangan itu berlangsung bertahun-tahun, dari 2009 hingga 2013. Tapi masyarakat hukum adat Pandumaan-Sipituhuta tetap solid dan teguh, meski dikejar-kejar Brimob. Akhirnya mereka berhasil. Hutan Adat Tombak Haminjon Masyarakat Hukum Adat (MHA) Pandumaan-Sipituhuta satu-satunya hutan adat di Tano Batak yang sudah berhasil dilepaskan dari konsesi TPL.

Agustina sarjana pendidikan lulusan Unimed (2012). Sehari-hari ia mengajar di SMP yang dikelola Yayasan Si Raja Oloan. Selain itu, ia jadi relawan di Sopo Baca Haminjon di Pandumaan. Ia kenal dengan Togu Simorangkir karena kegiatan literasi.

Apa motivasi Agustina mendaftar menjadi anggota Tim 11? “Aku mau TPL ditutup. Dan secara pribadi percaya Bang Togu orang yang berintegritas,” katanya, seperti ditulis Ito Oni.

Melihat foto-foto dan video keterlibatan Agustina Pandiangan di Tim 11, saya jadi teringat srikandi Boru Pandiangan dalam buku Ompung Poernama Rea tadi.

Agustina, kamu srikandi dalam bentuk yang berbeda, di masa yang berbeda. Kamu adalah penerus semangat juang namborumu Srikandi Boru Pandiangan, dalam perjuangan panjang Raja Si Singamangaraja XII. Perjuangan “jatidiri” dan “harga diri” sebagai Bangso Batak… *

Avatar photo

About Nestor Rico Tambun

Jurnalis, Penulis, LSM Edukasi Dasar. Karya : Remaja Remaja, Remaja Mandiri, Si Doel Anak Sekolahan, Longa Tinggal di Toba