Seide.id – Ah… tak terasa, dua tahun lalu, tepatnya Minggu 20 September 2019, saya bisa menyatukan hati ikut merayakan misa di St. Peter – Our Lady of The Rosary. Kali ini bersama keluarga kecil saya selama tinggal di kota dengan julukan “kota yang tak pernah tidur” ini.
Menurut catatan sejarah, gereja ini merupakan paroki tertua di negara bagian (State) New York yang dibangun tahun 1785. Berawal dari keprihatinan Ferdinand Steinmeyer, pastor Jesuit asal Jerman yang tengah menjalani tugas misionaris di Philadelphia. Beliau secara berkala mengunjungi segelintir umat Katolik di NYC yang terancam terpecah-belah semasa revolusi.
Hadiah dari Raja
Akhirnya, dengan 1.000 keping perak hadiah dari Raja Spanyol, Charles III dan donasi dari para donatur lainnya, mulailah dibangun konstruksi gereja. Semula direncanakan di Broad Street. Namun karena ada sentimen dari kalangan anti Katolik saat itu, akhirnya dibangunlah gereja di Barclay Street.
Peletakan batu pertama tahun 1785 dan misa perdana tahun 1786. Pastor William O’Brien, dikenang sebagai pastor pertama paroki ini. Pelayanannya tak kenal lelah, terutama saat terjadi pandemik demam kuning tahun 1795-1798.
Karena dianggap tak lagi memadai dengan banyaknya umat, gereja yang terletak di kawasan finansial Manhattan ini direnovasi sekaligus diperbesar pada tahun 1836-40. Desainnya digarap oleh John R. Haggerty dalam gaya Greek Revival dengan 6 pilar ikonik.
Saksi Bisu
Gereja yang dibuka kembali tanggal 25 Februari 1838 ini luput dari kehancuran saat teroris meluluhlantakkan menara kembar WTC. Maklum, lokasinya persis bersebrangan, hanya sepelemparan batu. Tanggal 11 September 2001, serpihan pesawat yang dikendalikan para teroris, jatuh menimpa dan merusak atap gereja St. Peter.
Pastor paroki, Mychal Judge, OFM, bahkan merupakan korban pertama meninggal yang bisa diidentifikasi. Para petugas pemadam kebakaran yang mengevakuasinya, meletakkan jasadnya di depan altar.
Saat itu gereja yang megah ini dijadikan semacam “markas”. Sebagai tempat evakuasi, instalasi gawat darurat, serta ruang operasi bagi para korban kebiadaban teroris. Sekaligus sebagai gudang tempat penyimpanan dan penyaluran segala kebutuhan.
Dari obat-obatan, perlengkapan medis, sampai makanan kaleng untuk para pekerja sosial dan sukarelawan yang bekerja siang malam menolong para korban yang masih bisa diselamatkan nyawanya. Kondisi tersebut membuat pihak terkait menutup akses publik menuju gereja.
Barulah pada tanggal 28 Oktober gereja membuka diri kembali, merayakan misa pertama kali untuk umum setelah kejadian tragis yang menjadi lembaran sejarah paling kelam bagi negeri adidaya ini.
Puspayanti