“Nama Baduy itu pemberian Belanda,” ungkap Fotografer Don Hasman, seorang perintis jalan kaki Nyaba Baduy di tahun 1970-an
Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI
ANEH tapi nyata. Berpuluh tahun lamanya kita menyebut masyarakat sub-etnik Sunda di Pegunungan Kendeng di selatan Banten itu dengan sebutan suku atau orang atau urang Baduy. Tradisi budaya dan benda etnografi yang mereka gunakan dalam keseharian, lantas juga kita kaitkan dengan kata Baduy. Tapi coba kita tanyakan pada mereka, bisa dipastikan mereka akan geleng kepala dan bilang: “Kami bukan Baduy.”
“Kami mah, urang Kanekes,” ucap Naldy, tegas dan santun. Ini dibenarkan Sapri dan Supri, Adik Naldy, yang asal Cibeo, satu dari tangtu tilu (tiga kampung penentu) yang kita kenal sebagai Baduy Dalam / Kajero’an atau Kapu’unan. Hal sama dikatakan Sarpin, Seurat (Sekretaris Desa) Kanekes, yang menyebut diri sebagai Urang Kanekes asal Gajeboh (kampung kelahirannya) dekat Kaduketug – Ibukota Baduy.
Orang Baduy (baik Baduy Hitam ataupun Baduy Putih) memang lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes, desa ulayat di Leuwiedamar, Lebak, Banten dimana mereka eksis sejak kitaran 600 tahun silam. Lantas gimana bisa tercetus kata ‘Baduy’ untuk menamakan diri mereka? “Nama Baduy itu pemberian Belanda,” ungkap Fotografer Don Hasman, seorang perintis jalan kaki Nyaba Baduy di tahun 1970-an.
Don Hasman benar. Kata Baduy pertama yang tercatat dalam literasi, bisa jadi diungkap buku De Badoej’s karya Jul Jacob’s yang diterjemahkan Judistira K Garna dan Salam Harjadilaga menjadi “Orang Baduy dari Banten” (penerbit Primako Akademika. Bandung 2012). Judistira K Garna dari Bandung, rasanya juga merupakan akademisi Indonesia pertama yang menulis dan memberitakan ihwal Baduy ke luar.
Disebutkan bahwa penamaan Baduy dikaitkan dengan keberadaan Gunung Baduy dan Sungai Baduy yang ‘menghadang’ para peneliti Belanda tempo doeloe, sebelum kemudian tiba di kampung-kampung Baduy Luar yang dicarinya. Belakangan nama Baduy dikait-kaitkan dengan orang Bedui atau Badui, suku nomaden di Jazirah Arab. Maka populerlah kata Baduy. Padahal, “Kami mah, Urang Kanekes, ” tegas Naldy, lagi.
Desa Kanekes terletak di Kecamatan Leuwiedamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Indonesia. Kanekes adalah toponimi jenis pohon berbuah anggota suku Fabaceae, yang polongnya (menghasilkan biji tunggal) seukuran buah anggur. Salutnya bisa dimakan, rasanya asam-manis-segar. Biasa dijual di kaki-lima. Nama ilmiahnya Dialium indum, dan orang Betawi menyebutnya Asam Keranji. ***
03/09/2021 Pk 10:43 WIB