Ada semacam tonic khas Baduy, terbuat dari berbagai bahan herbal (antara lain biji pucung muda, daun pandan, air cacaban batang pisang, kemangi, serta buah mengkudu) untuk membunuh kutu kepala dan mengharumkan rambut . Dua gadis Kapu’unan/ Baduy Dalam . foto: Disparda Banten.
Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI
SATU dari sejumlah tabu atau hal yang teu meunang (tidak boleh) dilakukan di sekujur Tanah Baduy adalah penggunaan sabun untuk mandi atau mencuci sesuatu. Pikukuh adat ini memperoleh acungan jempol dari para pegiat pro-lingkungan tahun 1970an, khususnya dari Kementerian Perlindungan dan Pengembangan Lingkungan Hidup (PPLH, kini Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup) pimpinan Emil Salim.
Ini karena Tanah Baduy di Kanekes, Leuwiedamar, Lebak, Banten yang sebelum tahun 2000 masih masuk bagian wilayah Jawa Barat, “Merupakan kawasan hulu dari berpuluh anak sungai yang mengalir ke sekujur Banten, Sukabumi dan Bogor,” ungkap Erna Witoelar, Ketua WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) saat itu. WALHI adalah organisasi swadaya masyarakat yang jadi jembatan antara Pemerintah dan masyarakat.
Kita semua tahu bahwa sabun adalah produk dari bahan soda api yang mengandung deterjen, yang bila digunakan secara berlebihan akan membuat pencemaran lingkungan, khususnya dalam sistem tata alir air alam. Urang Baduy yang tak banyak memiliki sumber air, harus bisa menjaga sumber-sember airnya untuk tetap bersih dari pemcemaran, dengan tidak membolehkan warganya menggunakan sabun mandi. Hebatnya, pikukuh itu sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka.
“Lantas, gimana dong wanita Baduy mandi, gosok gigi atau keramas? Kulit mereka kok bersih, mulus, putih? Kulit wajah mulus dan kencang, dengan rana mata kebiru-biruan mirip ras Eropa. Apa mereka punya kosmetika tradisional yang mereka simpan dan rahasiakan? Boleh juga dibagi dan disebarluaskan. Siapa kita bisa ungkap kosmetika Nusantara khas Baduy?” tanya seorang pengusaha kosmetika nasional sekali waktu.
Jawabnya ada di alam liar dan di hutan Baduy yang ditumbuhi beragam jenis pohon, dan kearifan Baduy tak cuma menganggapnya sebagai berkah pangan, tapi juga sumber obat-obatan warisan leluhur. Untuk sikat gigi misalnya, urang Baduy menggunakan arang yang ditumbuk, dan menggunakan pangkal batang seraiwangi (lemongrass) sebagai siwak alias sikat gigi khas Arab Saudi.
Saat mandi di sungai atau di pacuran air, daki di badan digosok bersih dengan menggunakan batu kali dan serbuk arang kayu. Kotoran yang terselip di kuku dicukil dengan lidi aren. Ada sabun tradisional non-pestisida khas Baduy, yakni potongan pelepah batang honje/kecombrang atau asam patikala (Etlingera elatior), yang bila dibasuh air dan digosokkan ke tubuh akan mengeluarkan busa tipis dan harum.
Keramas juga rutin dilakukan wanita Baduy. Ada semacam tonic khas Baduy, terbuat dari berbagai bahan herbal (antara lain biji pucung muda, daun pandan, air cacaban batang pisang, kemangi, serta buah mengkudu) untuk membunuh kutu kepala dan mengharumkan rambut, lalu mandi bersih di pancuran atau berendam di sungai, dengan sabun batang honje. Atau sesekali dengan busa buah lerak (Sapindus rarak) yang diluar baduy biasa digunakan untuk membuat kinclong benda-benda dari emas.
Merawar diri dan bersolek? Itu naluri wanita di mana pun. Jamu untuk kesehatan tubuh atau lulur beras kencur plus bahan herbal lainnya untuk memperhalus kulit, “Ti baheula ge aya dipake para geulis jeung ambu di Kanekes,” (sejak zaman dulu juga ada digunakan para gadis dan ibu di Kanekes) ucap seorang Abah di Cibeo. Tak heran bila wanita Baduy selalu tampil harum dan cantik, dengan bibir merah rekah yang dipoles cairan biji kesumba (Bixa Orellana), pewarna herbal alamiah. ***
SEIDE 29/08/2021 PK : WIB