Stories of Baduy: Murakadu, Pesta Durian Baduy

Herys Saputro - Baduy Panen Duren

Urang Kapu’unan bahagia mengangkut durian untuk murakadu – Foto Dinas Pariwisata Lebak

Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI

MASIH ingat almarhum Dono dan Kasino, yang bersama Indro Hadidjojo tergabung dalam grup Warkop DKI? Di sebuah pertunjukan, ketiga pelawak kampus yang juga anggota pencinta alam Mapala-UI ini, sempat bikin joke ihwal Baduy. “Coba sebut, apa cenderamata yang benar-benar asli Kanekes/Baduy?” tanya Kasino. Seperti juga Dono, penonton bengong, sebelum kemudian “Gerrr…!” saat Indro menjawab. “Durian…!”

Ini sungguh sebentuk humor cerdik dan mendidik. Karena sejak tanah dan masyarakat Kanekes/Baduy terbuka dan terekploitasi hanya sebagai obyek (bukan subyek) wisata, maka  satu dari sedikit barang aseli made-in Kanekes Baduy, dalam arti benar-benar produksi desa itu dan dikerjakan sendiri oleh tangan-tangan warganya dan hasil sepenuhnya juga untuk pemiliknya di Kanekes, bisa jadi ya memang cuma durian.

Durian sudah lama masuk dalam kehidupan urang Baduy. Paling tidak itu terukir dari banyak nama kampung di Baduy Luar bertoponimi ‘durian’ yang orang Banten menyebutnya ‘kadu’. Ibukota desa Kanekes misalnya, bernama Kadu Ketug yang berarti “durian jatuh gedebuk”. Ada pula kampung Kadu Keter (pohon durian yang tegak kukuh), Kadu Jangkung, Cikadu, Kadu Babakan dan banyak lagi.

Murakadu kini juga diwujudkan sebagai pesta durian . Nampak pemandangan saat musim durian tiba di halaman pendopo Multatuli – foto Restiawati Niskala .

Pernah tahun 1976, ayah angkat saya, Panggiwa Saipin (panggiwa/panglima, ‘menhankam’ Baduy dibawah Jaro Pamarentah) melarang saya masuk hutan di belakang rumahnya di Kadu Ketug karena sedang banyak angin. Belakangan saya tahu, di hutan-hutan Baduy banyak tumbuh pohon durian, yang jika sedang musim buahnya berjatuhan digoyang angin. Bayangkan bila menimpa saya, ha…ha…ha…!

Kadu dipeulak leluhur kami ti baheula. Ayeuna ge, mung ngadahar kadu, bijina selain direbus/ditambus buat kadaharan, biji nu alus dilempar kana leuweung, biar tumbuh jadi tangkal baru,” kata Ayah Saipin. Maksudnya, sejak dulu durian ditanam leluhur, sekaran pun tiap kali menikmati durian, selain direbus atawa ditambus sebagai camilan, biji-biji yang bagus dilempar ke ruas hutan biar tumbuh jadi pohon baru.

Tiap warga Baduy faham, mana pohon yang ditanam keluarganya. Buah-buah jatohan itu yang dipungut di masa panen durian antara November – Februari. Di rentang waktu itu pula, tiap tahun (bila tak bertepatan dengan waktu pelaksanaan adat-adat tertentu, yang tak mengizinkan orang ‘luar’ bertamu) selalu datang undangan murakadu (murak kadu) bebarengan alias membongkar (makan) durian bareng sanak keluarga Baduy.

Antusiasme masyarakat menjelang murakadu di Kota Rangkasbitung . Di musim durian, wisatawan berdatangan bukan sekadar untuk blusukan keluar-masuk kampung-kampung adat, tapi sekaligus juga untuk menikmati durian Baduy yang manis-legit dan harganya jauh lebih murah dari harga kota. Foto Restiawati Niskala

Murakadu kini juga diartikan sebagai pesta durian di Baduy. Di musim durian, wisatawan berdatangan bukan sekadar untuk blusukan keluar-masuk kampung-kampung adat, tapi sekaligus juga untuk menikmati durian Baduy yang manis-legit dan harganya jauh lebih murah dari harga kota. “Kita tinggal kontak sohib di Ciboleger via ponsel, pesen sejumlah durian saat nginep di kampung anu,” cerita Resti.

Selasa, 15 Janiari 2019, Resti dan gank-nya juga pernah diundang sohibnya, istri mantan Bupati Lebak yang putri mereka (saat ini) juga sedang dipercaya menjadi Bupati Lebak. Berkait Penghargaan Adipura 2017 – 2018 yang diterima kabupaten itu, serta pelantikan Bupati Lebak periode 2019-2014, pemkab menggelar Mukaradu Bebarengan. Lebih dari 5000 butir durian didatangkan dari Baduy, digelar di halaman Pendopo Multatuli, gratis dinikmati warga. ***

30/08/2021 pk 18:51 WIB

Avatar photo

About Heryus Saputro

Penjelajah Indonesia, jurnalis anggota PWI Jakarta, penyair dan penulis buku dan masalah-masalah sosial budaya, pariwisata dan lingkungan hidup Wartawan Femina 1985 - 2010. Menerima 16 peeghargaan menulis, termasuk 4 hadiah jurnalistik PWI Jaya - ADINEGORO. Sudah menilis sendiri 9 buah buku.