Oleh HARRY TJAHJONO
Sejak pandemi Covid-19, keluarga Dona dan Doni jadi sering ngobrol bareng dengan kedua anaknya, Dono dan Dini, yang sudah SMA dan sudah setahun lebih belajar daring. Kadang ngobrol di teras, tapi seringnya di gazebo dekat kolam ikan. Seperti pagi ini. Seperti biasa, Doni sesekali kasih makan ikan sambil tertawa-tawa gembira.
“Papa kenapa sih lihat ikan makan saja kok ketawa?” tanya Dini, anak gadisnya.
“Ya karena ikannya lucu. Dikasih makan sedikit, rebutan. Dikasih banyak, juga rebutan. Kan lucu?” jawab Doni, ketawa lagi.
“Halah…, gitu aja kok lucu,” kata Dono, anak lelakinya.
“Papamu itu apa-apa memang dianggap lucu. Apa-apa memang diketawain. Kebiasaan itu,” kata Dona, istrinya Doni.
“Iya nih. Kebasaan nih. Papa kenapa sih kok apa saja dianggap lucu?” tanya Dini.
“Untuk menunda kemarahan. Untuk latihan mengendalikan emosi. Untuk membiasakan diri gembira. Untuk belajar melihat bahwa apa saja di dunia ini sebetulnya lucu. Supaya nggak stress,” kata Doni, seperti biasa, berusaha menjawab filosofis agar menimbulkan kesan gimanaaa gitu.
“Kalau apa saja di dunia ini lucu, Papa juga lucu dong!” sergah Dono.
“Paling tidak ya termasuk luculah,” jawab Doni.
“Papa nggak marah kalau orang menganggap Papa itu lucu?” kejar Dini.
Doni tertawa, merumitkan jawaban, “Ya nggak apa-apa. Bersyukur saja. Seperti Papa juga bersyukur ketika melihat ciptaan Tuhan yang menurut Papa lucu. Menurut Papa, Tuhan itu Mahahumoristik. Lihat saja itu ular, kok nggak dikasih kaki. Gajah dan kuda nil yang serem banget itu makanannya kok sepele amat, rumput. Di mata Papa itu lucu, walaupun menurut kamu serem atau biasa saja.”
“Tuhan kok dibilang lucu. Bagaimana kalau itu membuat Tuhan marah?” tanya Dono.
“Ya apa boleh buat. Seperti kalau kita dikasih rejeki, kalo dimarahi ya harus kita terima saja. Tapi selama ini baik-baik saja. Melihat sesuatu Itu lucu atau tidak lucu kan soal bagaimana kita mengapresiasinya. Mama kamu, misalnya. Di mata Papa, Mama kamu itu selain cantik juga….”
“Sudah, sudah, sudah! Kebiasaan! Masih pagi kok ngajarin anak yang enggak-enggak!” sergak Dona, istrinya, yang sewot karena diomongin suami di depan anaknya.
Doni langsung diam. Tidak mampu ketawa. Padahal, Doni mau bilang bahwa selain cantik, Dona itu juga lemah lembut, dermawan dan baik hati. Tapi sudahlah. Doni paham, istri adalah satu-satunya ciptaan Tuhan yang tidak lucu. Alhasil, modal utama jadi suami itu tak hanya sekadar punya kesabaran di dalam dada, tapi dari ujung rambut sampai jempil kaki. Jempil itu, harap dicatat, adalah ujungnya jempol.
Melihat Mamanya sewot, Dono dan Dini tau gelagat. Mereka beringsut pergi meninggalkan gazebo. ***
**Catatan: Suaminologis adalah “ranting disiplin ilmu bermetodologi humor” (hehehe) tentang kehidupan berumahtangga, yang menelaah sebab akibat kenapa suami-no-logis alias suami “bocor alus”. Selebihnya you now lah.