Bung Karno dan bapak bapak pendiri republik optimis dan penuh keyakinan memerdekakan negeri. Tidak skeptis, apatis dan pesimis.
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
Dalam setiap masa krisis selalu muncul suara skeptis dan kenegatifan. Suara kaum pecundang. Bimbang dan ragu. Rasa kalah dan tak berdaya. Kelompok pengkhianat, baik dari kaum rakyat jelata, awam, yang telah terdampak dan lama menderita maupun dari kalangan mapan yang enggan kehilangan kenyamanan dan enggan berkorban, sehingga cenderung menyalahkan orang lain.
Juga kaum egois yang biasa mementingkan diri sendiri. Serta kaum oportunis yang suka cari enaknya. Kaum yang mudah diperalat dan ditunggangi.
Kamus KBBI menyebut arti skeptis adalah sikap mencurigai, meragukan, dan tidak mempercayai kebenaran sesuatu hal. Arti skeptis tersebut kemudian membuat suatu paham atau pemikiran yang dinamakan skeptisisme.
Sebutan lain bagi skeptis adalah bimbang, waswas, curiga, ragu-ragu, bingung, khawatir, cemas, gamang, maju mundur.
Kata ‘skeptis’ bersaudara dan berkerabat dengan kata ‘apatis’ dan ‘pesimis’.
Sisi positif skeptis adalah kritis. Sisi negatifnya sinis. Orang orang yang skeptis nampak kritis atau “sok kritis”. Namun juga suka berpembawaan sinis.
REPUBLIK INDONESIA diperjuangkan dan dimerdekakan oleh segelintir orang yang optimis dan yakin bahwa kita bisa tegak berdiri sebagai bangsa – dan merdeka – berdikari – ketika sebagian besar warga lain nyaman dalam jajahan. Skeptis dan berpikir negatif.
Ratusan tahun bangsa kita dijajah, antara lain, karena kita tidak bersatu melawan penjajah dan mudah dipecah belah. Tak berdaya melawan kaum kulit putih.
Dalam kisah kisah revolusi – jika Anda suka membaca kisah kisah lama – juga muncul para pengkhianat dan komprador. Agen asing. Antek yang menyerah pada pihak musuh untuk mengamankan diri dan keluarganya. Para pencari untung di masa krisis dan perang.
Dalam kisah para nabi, khususnya Nabi Musa, kita mengenal orang orang yang kembali menyembah berhala setelah bertahun tahun dia dengan susah payah memperkenalkan Kuasa Tuhan. Tuhan yang Maha Tinggi dan tidak nampak.
Kita makin banyak bertemu dengan mereka yang skeptis – pada hari hari ini – sikap penuh keraguan, bimbang, kurangnya perasaan percaya dan curiga terhadap apa saja dari negara dan pemerintah.
Sikap skeptis seperti ini berdampak negatif bagi individu si pemilik sikap skeptis itu. Juga kepada pihak lain, orang banyak. Kolektif. Sebagai bangsa.
Mereka yang terus berpikir skeptis tidak dapat berkembang karena penuh curiga. Tidak bisa memanfaatkan peluang karena ragu ragu. Tidak ada perubahan karena selalu menolak.
Seseorang yang skeptis akan membuatnya terjebak dalam keterbatasan untuk memperbarui kualitas kehidupan. Dia kehilangan kesempatan sukses karena terus menunggu. Kehilangan peluang karena gamang hingga diambil orang lain.
Orang orang skeptis tidak berani bermimpi besar dan mengambil langkah maju sehingga sulit mencapai kesuksesan.
Orang orang skeptis juga cenderung tidak percaya pada orang lain – sehingga memiliki hubungan sosial yang buruk.
Mereka adalah orang orang yang memandang segala hal dari sudut negatif.
Mereka adalah orang orang yang yang tak berani bertarung, tidak berani berenang, melaut dan merantau. Nyaman dalam kemalasan dan keterpurukan.
Orang orang skeptis – yang berhenti pada sikap skeptif – adalah orang yang kehilangan harapan. Kalah sebelum perang. Mati sebelum mati.
SESUNGGUHNYA skeptis tidak selalu negatif. Dalam diri setiap jurnalis / wartawan, harus rasa skeptis, yaitu bersikap ragu-ragu terhadap pernyataan yang belum cukup kuat dasar pembuktiannya.
Skeptis dari jurnalis / wartawan merupakan refleksi sikap dan berpikir kritis yang tidak mempercayai informasi yang belum jelas pembuktiannya. Belum “A-1”
Sikap skeptis yang dimiliki jurnalis lebih mengarah kepada pencarian kebenaran dan tidak mempercayai setiap hal yang klaim atau informasikan sebelum benar-benar menemukan bukti yang kuat dan rasional.
Skeptisisme yang melekat pada jurnalis berasal dari bahasa Yunani yaitu “skeptomai” yang artinya pemikiran secara seksama atau dengan teliti. Mempertanyakan setiap informasi yang didapat dan mencernanya secara rasional bukan berdasarkan keyakinan yang tidak berdasar.
Untuk itu, para jurnalis wajib cek, ricek dan cross check.
Disiplin verifikasi sebagaimana diajarkan dalam buku “Elemen Jurnalisme” (Bill Kovach dan Tom Rosenstiel 2001) adalah kelanjutan langkah dari skeptis. Tidak berhenti pada sikap ragu ragu.
Sifat skeptis jurnalis tidak memiliki pikiran negatif. Melainkan dalam rangka berpikir kritis yang memiliki manfaat. Karena para jurnalis / wartawan harus memiliki kemampuan untuk berpikir secara jernih dan rasional, berpikir reflektif dan independen.
NAMUN secara umum istilah skeptis seringkali dikaitkan dengan berpikir kritis dan negatif.
Adapun yang dimaksud dengan berpikir negatif adalah sebuah pemikiran yang melihat segala sesuatu dari sisi terburuk, kemungkinan terburuk, serta mencari-cari kesalahan.
Kini dalam pandemi perang melawan virus Covid-19 itu kita melihat orang seperti itu : terus menerus bersuara negatif, menyalahkan, melawan dan bersikap anti pemerintah sebagai garda depan melawan pandemi virus global ini. Dan skeptis.
Orang orang negatif dan skeptis tidak bisa ikut dalam peperangan dalam krisis. Mereka bermental pecundang. Mudah jadi pengkhianat. Membahayakan tim dan kelompok.
Mempercayai kebenaran dari bangsa kulit putih, menghamba pada budaya Arab yang sudah bangkrut dan serba curiga pada apa saja yang datang dari pemerintah dan dari negeri China – tapi diam diam menikmatinya – adalah sikap kenegatifan, kemunafikan dan skeptif yang sedang merasuk dan merusak bangsa kita hari hari ini.
Kondisi ini melahirkan spesies baru di bumi Nusantara kita bernama kadrun. Kadal gurun. ***