Suatu Siang Di Restaurant

CERPEN OLEH : NADJIB KARTAPATI Z

Terasalah oleh Bahri betapa nasib baik sedang berpihak padanya. Orang boleh bilang bahwa itu semua karena usaha dan kelincahan otak. Tetapi menurut Bahri itu belumlah cukup. Ia berpikir bahwa Allah tidak dapat dikesampingkan dalam soal ini. “Keberhasilan saya semata-mata karena karunia-Nya, sementara upaya dan dukungan otak hanya merupakan jendela, atau semacam perantara agar bisa dengan mudah dipahami akal manusia,” katanya.

     Ah, ternyata Bahri tidak terlalu berpikir soal itu. Yang penting baginya adalah bahwa hari ini ia menerima nasib baik. Baru saja ia dilantik menjadi manajer, tanpa harus melakukan penjilatan dan sogokan. Memang baginya itu bukan kejutan. Selain karena prestasi dan konduitenya yang baik, jabatan baru itu sudah lama ia impi-impikan. Bagaimanapun ia merasa wajib bersyukur. Mensyukuri! Ai, tiba-tiba ia teringat akan janjinya –janji entah kepada siapa. Ia pernah berujar akan melakukan satu perbuatan aneh menurut ukuran rekan-rekan sejawatnya. Apa dan bagaimana bentuk perbuatan itu, ia sendiri belum punya gambaran.

     “Yang jelas, perbuatan itu mempunyai nilai kebaikan,” katanya.

     Siang ini, setelah pelantikannya, ia mengajak rekan-rekan yang semula satu aselon dengannya makan siang di sebuah restoran. Setelah kawan-kawannya mengambil tempat duduk, ia menyilakan mereka memesan makanan sesuka hati. Bahri sendiri mengambil tempat duduk terpisah, pada satu meja khusus, agar ia bisa memandangi kawan-kawannya menyantap makan siang.

     Pada saat makanan disuguhkan, secara tidak sengaja mata Bahri menatap sosok lelaki tua di depan pintu restoran. Entah kenapa ia tiba-tiba tersentak. Lelaki tua itu juga sedang melihat ke arahnya dengan pandangan memelas, seakan-akan sedang membayangkan betapa nikmatnya makan siang di restoran. Lelaki itu kurus tinggi, berpakaian lusuh dan camping. Bajunya yang usang ada bekas jahitan di bagian lengan kanan, dan tampak basah oleh keringat.

     Bahri tertegun. Kehadiran lelaki tua itu bagai memiliki daya magnetis yang kuat, membuat Bahri tidak sanggup melepaskan perhatiannya. Tidak jauh dari tempat lelaki itu berdiri, tergolek sebuah pikulan berisi setumpuk daun pisang. Bahri mencoba menghubungkan barang itu dengan si lelaki tua yang diduga sebagai pemiliknya. Dengan begitu ia yakin bahwa lelaki tua itu bukanlah seorang peminta-minta.

      Sekonyong-konyong Bahri berdiri untuk kemudian melangkah menghampiri lelaki itu. Yang didekati mundur selangkah sambil mengekspresikan perasaan takut.

     “Bapak tidak perlu khawatir,” kata Bahri sopan. “Sudikah kiranya Bapak menolong saya?”

     Lelaki tua itu terbengong. Bibirnya bergerak-gerak namun tidak juga mengeluarkan kata-kata.

     “Saya butuh bantuan Bapak. Bisakah Bapak membantu saya?” tanya Bahri. “Saya akan sangat berterima kasih kalau Bapak tidak keberatan.”

     Mendengar ucapan Bahri yang lembut dan penuh santun itu, lelaki tua tersebut mulai memperoleh kepercayaan diri. Raut ketakutan yang tadi mengotori wajahnya hilang sudah.

     “Kalau sekiranya saya mampu, sungguh sangat senang saya membantu, Nak. Tapi bantuan apa yang bisa saya berikan?” tanya lelaki tua itu seraya sedikit membungkukkan badan.

     “Temani saya makan siang, Pak. Tidak keberatan, ‘kan?”

     “Ha?”

     Sudah barang tentu orang tua itu kaget. Menemani makan siang seorang pemuda gagah, berpakaian necis dan berdasi, di sebuah restoran yang cukup mewah di jantung kota Jakarta, sungguh ia merasa bukan derajatnya. Ia justru khawatir, jangan-jangan keberadaannya malah menganggu lantaran penampilannya yang lusuh., kumal, dan menjijikkan itu.

     Pada suatu jarak, kawan-kawan Bahri saling berbisik. Mereka menduga bahwa Bahri hendak bikin ulah yang aneh-aneh untuk memenuhi ujarnya bila berhasil jadi manajer. Namun mereka tidak habis pikir kenapa mesti dengan mengajak makan lelaki tua yang gembel itu bersama-sama. Satu dua kawan mulai menyindir dan tertawa cekikikan.

     “Ayolah, Pak, temani saya makan siang,” ajak bahri sambil berupaya menarik lengan lelaki tua itu.

     “Ah, jangan, Nak! Tidak pantas saya makan bersama Anak. Pakaian saya kotor, berbau. Saya takut nanti malah mengganggu, Nak.”

     “Tidak, Pak. Saya butuh bantuan Bapak. Saya butuh kawan makan, dan Bapaklah yang saya pilih,” ucap Bahri sambil berpikir bahwa inilah bentuk perbuatan aneh yang bernilai kebaikan, yang cukup pantas dilakukan demi memenuhi nazarnya sendiri.

     Dengan langkah yang serba berat dan canggung, lelaki tua itu menyerah dalam bimbingan Bahri. Mereka akhirnya duduk berhadapan satu meja dalam tatap mata aneh semua kawan Bahri dan pelayan restoran. Terbias pancaran kegembiraan pada wajah Bahri, namun sebaliknya, tergambar ekspresi kebingungan dan kecurigaan pada wajah lelaki tua itu. Bahri tahu semua itu, tetapi ia tidak peduli.

     “Bapak mau makan apa?” tanyanya.

     Lelaki tua itu tidak menjawab. Bahri mengulangi pertanyaannya lagi, dan tetap tidak memperoleh jawaban. Sadarlah ia bahwa semua daftar menu di restoran itu teramat asing bagi lelaki tua tersebut. Akhirnya ia sendirilah yang mengambil inisiatif, memesankan makanan buat pak tua itu: nasi putih, satu porsi udang goreng tepung, burung dara goreng mentega, sup buntut, dan es buah. Bahri tidak peduli apakah komposisi menu itu cocok. Ia hanya ingin agar yang diajak makan leluasa memilih sesuai seleranya.

     Memang seumur hidupnya lelaki tua itu tidak pernah menyantap menu masakan yang kini terhidang di depannya. Toh demikian, rasa lapar telah menyapu keasingannya.

     “Semuanya tanpa babi, ‘kan, Nak?” tanya lelaki tua itu.

     “Jangan kuatir, Pak. Saya orang Islam, sama dengan Bapak.”

     Jawaban Bahri membuat lelaki tua itu lebih bergairah makan.

     “Kalau boleh tahu, siapa nama Bapak?” tanya Bahri.

     “Samsudin, Nak.”

     “Nama saya Bahri, Pak. Bapak rumahnya di mana?”

     “Jauh, Nak, Klender.”

     “Klender? Ada keperluan apa Bapak sampai kemari?”

     “Menjual daun pisang, Nak.”

     “Tadi Bapak naik apa?”

     “Jalan kaki, Nak, pagi-pagi benar tadi. Yah, dasar belum ada rezeki, sampai sesiang ini jualan saya tidak laku juga.”

     Bahri menyebut kebesaran-Nya. Berapa jauh jarak Klender-Sabang sehingga orang setua ini harus menempuhnya dengan jalan kaki? Ya, Tuhan! Jiwa Bahri bergetar hebat diguncang rasa iba yang dalam. Seakan-akan ia sedang mengalami katarsis, sadar bahwa dirinya mesti bersyukur kepada Allah. Ia merasa telah menemukan pengalaman batin yang menggetarkan.

     “Kenapa Bapak tidak jualan di Pasar Klender saja?”

     “Di sana sudah banyak yang jualan, Nak, lagi pula harganya terbanting. Saya tadi untung-untungan membawa kemari. Di sini ‘kan banyak restoran, tempatnya orang kaya, saya pikir akan laku dengan harga yang lumayan…”

     “Tadi pagi Bapak sudah sarapan?”

     “Sekedar singkong rebus, Nak, beberapa potong.”

     Bahri membuang napas. Di tengah rasa iba yang menekan batinnya, terselip kebahagiaan yang tidak kecil, yang ia rasakan lebih besar dari kebahagiaannya memperoleh kenaikan jabatan. Ia pandangi wajah lelaki tua yang kini terhenyak kekenyangan itu. Ia bayangkan seandainya lelaki tua itu adalah bapak kandungnya sendiri, terengah-engah ditindas nasib buruk: yang bernama kemiskinan! Ah, kini guncangan dalam batin itu semakin terasa.

     Sebelah sana kawan-kawan Bahri makin bersiut-siut. Di antara mereka ada yang menyindirnya sebagai dermawan kesiangan.

     “Baru lima menit jadi manajer sudah bikin sensasi,” celetuk yang lain secara terkekeh-kekeh.

     Bahri tetap tidak peduli. Ia masih tak henti-henti memandangi wajah lelaki tua itu, wajah yang penuh kerut-merut. Bahkan ia berpikir, andaikata sembilan orang kawannya yang ditraktir itu diganti dengan sembilan orang miskin seperti pak tua ini, tentulah kebahagiaan yang dicapai akan sembilan kali lipat besarnya.

     Dan sekarang ia merasa bahwa perbuatan aneh yang dilakukan demi nazarnya ini membuka kesadarannya secara lebih luas, menggugah nuraninya untuk lebih awas kepada nilai-nilai kemanusiaan.

     “Bapak merokok?” tanya Bahri seraya menyodorkan sebungkus rokok filter yang sebatang di antaranya menonjol ke luar. 

     Dengan sopan lelaki tua itu menghunusnya, lantas menyelipkannya di antara kedua bibirnya yang tidak lagi kering. Bahri segera menyalakan korek api untuk lelaki tua itu, seperti sedang melayani seorang sahabat karib yang dirindukannya.

     Arloji di lengan kiri Bahri sudah menunjuk pukul dua lebih seperempat. Sesebentar lelaki tua itu menengok ke luar, seolah ia takut dagangannya disambar orang. Siapa yang mau mencuri setumpuk daun pisang itu, pikir Bahri. Dan siapa yang akan membeli barang itu di Jalan Sabang ini? Baru sekarang Bahri melihat ada orang jualan daun pisang di wilayah itu.

     “Saya sangat terima kasih Bapak sudi menemani saya makan,” ucap Bahri tulus.

     “Ah, saya yang seharusnya berterima kasih, Nak. Seumur hidup saya tidak pernah makan di restoran seperti ini. Dan seumur hidup saya tidak pernah membayangkan ada orang yang sudi mengajak saya…”

     “Ah, Bapak berlebihan.”

     “Saya tidak tahu mimpi apa saya semalam,” gumam lelaki tua itu seakan-akan ditujukan kepada dirinya sendiri.

     Bahri berpikir, mungkin ucapan lelaki tua itu benar. Siapa yang akan sudi mengajaknya makan di restoran? Andaikata ia tidak pernah bernazar, ia sendiri tidak mungkin melakukannya. Sekarang ia yakin bahwa gagasan mengajak makan lelaki kumal itu tidak lain dan tidak bukan hanya dari Allah. Ia merasa telah dibimbing oleh sebuah kekuatan yang datang dari luar dirinya.  

     “Setelah ini Bapak mau ke mana?” tanya Bahri.

     Lelaki tua itu tergeragap. Lama ia memandang wajah Bahri tanpa berucap sepatah kata pun. Mungkin ia akan tetap menunggu dagangannya sampai laku, atau mungkin juga akan pulang dengan rasa putus asa. Dan Bahri yakin, sampai matahari tenggelam pun tak akan ada orang datang membeli daun pisang itu.

     Bahri mengeluarkan dompetnya dan menghunus selembar uang ratusan ribu. Ia merasa, kebahagiaannya akan lebih sempurna jika ia berikan uang itu kepada Pak yang bernama Samsudin tersebut.

     “Terimalah uang ini, Pak,” kata Bahri. “Ini tanda terima kasih saya karena Bapak telah membantu saya menemani makan suang.”

     Tiba-tiba, lelaki tua itu berjongkok sambil memegangi kedua lutut Bahri. Tangannya menggigil dan kedua matanya berkaca-kaca.

     “Anak ini siapa sebenarnya? Malaikat apa Nabi Khaidir?” tanya lelaki tua itu gemetar. “Beruntung sekali saya bisa bertemu dengan utusan Tuhan. Siapa sebenarnya Anak ini?”

     Bahri ikut-ikutan geragapan. Ia tidak menyangka akan memperoleh pengakuan seperti itu. Serta-merta ia menopang lelaki tua itu berdiri kembali. Ia makin tidak peduli terhadap keadaan sekeliling. Ia tenggelam dalam adegan yang fantastis itu.

     “Saya manusia biasa, Pak,” kata Bahri gugup. “Hari ini saya sedang berbahagia, jabatan saya naik. Dan saya merasa wajib mensyukurinya. Jadi bukan karena saya ini Malaikat atau Nabi Khaidir, dan bukan karena apa-apa. Saya merasa punya kepentingan melakukan semua ini. Terimalah uang ini, Pak, sebagai ucapan terima kasih saya.”

     Dengan tangan yang menggigil orang tua itu menerima uang pemberian Bahri. Kemudian ia pun bergumam, “Ya, Allah! Engkau turunkan pertolongan-Mu secara ajaib…” Dan lelaki tua bernama Samsudin itu menangis seperti anak kecil.

     Bahri memandangnya takjub, begitu juga semua kawannya.

     “Terima kasih, Nak! Terima kasih, Tuhan!” ucap lelaki itu. “Saya memang sedang sangat membutuhkan uang. Saya mengalami jalan buntu. Saya tidak bisa ikhtiar kecuali menjual daun pisang itu. Berhari-hari saya berpikir, tetapi tetap saja tidak mendapatkan jalan…”

     “Apakah masih kurang, Pak? Berapa yang Bapak butuhkan?”

     “Tidak, Nak! Sudah cukup, sudah cukup! Dua anak saya yang di SMP dan di SD nunggak SPP sampai tiga bulan. Mereka tidak bisa terima rapor kalau saya tidak melunasinya. Jumlah semuanya seratus lima puluh ribu, Nak, tapi yang lima puluh ribu saya sudah punya. Hasil menjual dua ekor ayam…”

     Bahri menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan lega. Satu pengalaman batin telah mengesaninya: dua kepentingan yang berbeda dari dua orang yang tidak pernah kenal, lunas dalam sebuah hubungan yang kebetulan. Ia yakin, semua ini ada yang menuntun dan mengaturnya.

     “Allah Maha Melihat, Pak,” bisik Bahri.

     “Ya, Nak. Dia rahman dan rahim.”***