Menurut Sue Park , General Manager ITS (Intelligent Transport Society), subsidi diberikan dengan persyaratan yang sangat ketat melalui audit berkala. Korea Selatan membangun angkutan bawah tanah sejak tahun 1970-an, dan kini telah mencapai 350 Km. Bandingkan dengan Jakarta yang baru 16 Km . Foto Syah Sabur.
SEBAGAIMANA yang terjadi di banyak negara, sistem transportasi di Korea juga mengenal istilah subsidi, termasuk subsidi untuk jalur bus tertentu dengan jumlah penumpang yang di bawah rata-rata. Namun di Korea Selatan, subsidi diberikan dengan persyaratan yang sangat ketat melalui audit berkala.
“Audit antara lain untuk mengetahui biaya operasional bus per kilometer dibandingkan dengan pendapatannya. Audit juga mencakup perilaku sopir bus. Jangan sampai perusahaan bus merugi karena produktivitas sopir yang rendah atau sopir yang ugal-ugalan,” kata Sue Park , General Manager ITS (Intelligent Transport Society).
Sebaliknya, pemerintah juga memperhatikan pendapat sopir. Hal itu untuk menjamin bahwa sopir mendapatkan haknya sesuai ketentuan.
Sebelum melakukan audit, pemerintah sudah memiliki hitung-hitungan tentang tingkat keuntungan yang wajar dari perusahaan bus. Jika terjadi salah kelola pada perusahaan bus, pemerintah bisa memberikan masukan untuk menjamin perusahaan tetap bisa melangsungkan usahanya secara sehat.
Selanjutnya Sue mengungkapkan, dengan audit yang cermat bisa diketahui nilai subsidi dari tahun ke tahun. Sebagai contoh, defisit transportasi bus yang ditutupi oleh subsidi pemerintah kota Seoul meningkat dari 97,2 miliar won (2003) menjadi 157,9 miliar won (2004), dan meningkat lagi jadi 220 miliar won(2005).
“Sebaliknya, defisit di sektor kereta bawah tanah terus menurun. Gabungan defisit juga menunjukkan tren penurunan, berkurang dari 637,2 miliar won (2003) menjadi 619,7 miliar won (2004), dan menjadi 581,9 miliar won (2005),” ungkap Sue.
Subway Korea dibangun 1970
William Sabandar mengungkapkan, subway di Korea Selatan memang dibangun sejak lama, tahun 1970-an. Tak heran, jaringan transportasi berbasis rel di Negeri Ginseng itu sudah mencapai 350 kilometer. Bandingkan dengan MRT Jakarta yang panjangnya baru mencapai 16 km (fasesatu) setelah dibangun pada 10 Oktober 2013 (fase 1).
Selanjutnya segera disusul koridor utara-selatan, juga ada koridor timur-barat dari Cikarang – Balaraja sepanjang 78 km, antara lain fase Kalideres (Jakarta Barat) hingga Ujung Menteng (Cakung, Jakarta Timur) dengan panjang 31 km. Nantinya, MRT juga akan dikembangkan hingga mencapai 230 km pada 2030.
William menambahkan, saat ini pihaknya sedang dalam proses penjajakan kerjasama dengan Korea. Potensi kerjasama itu tak hanya dari aspek pendanaan. Sebab, Indonesia juga bisa belajar dari pengalaman pembangunan MRT di Negeri K-popitu yang semula belajar dari Jepang.
“Kita juga harusbegitu, tidak boleh selamanya tergantung pada negara lain. Ke depan, setelah dibantu Jepang untuk fase 1 dan fase 2, kita harus bisa membangun MRT sendiri,” tekad insinyur yang ahli di bidang transportasi dan rekonstruksi pasca bencana ini.
Menurut William, jika Korea Selatan dan Prancis masuk, MRT akan memiliki banyak pilihan selain Jepang untuk pengembangan selanjutnya. Tentu saja, hal itu akan menciptakan kompetisi yang lebih sehat di antara para investor.
Skema kerjasama
“Ke depan, skema kerja sama pun tidak hanya G to G (government to government), melainkan bisa melibatkan swasta, baik dalam maupun luar negeri. Sebab, kemampuan negara tentu terbatas,” katanya.
William menjelaskan, skema pendanaan dari swastaini tak terbatas hanya untuk proyek MRT fase 3, tapi juga fase-fase lainnya. Sebab, tanpa melibatkan swasta (dalam dan luar negeri) pembangunan kereta Ratangga fase 3 bakal memakan waktu lama.
“Mungkin 40-50 tahun baru akan selesai, untuk jalur sepanang 87 kilometer,” jelas peraih gelar Ph.D dari University of Canterbury (New Zealand).
Sebelumnya, William pernah menyampaikan, beberapa lembaga peminjaman sudah menyatakan minat untuk berinvestasi. Misalnya, Asian Development Bank (ADB), Asian Infrastructure Investment Bank, Japan International Cooperation Agency (JICA), dan pemerintah Inggris.
William juga mengatakan, Korea Selatan serius berniat untuk berinvestasi dalam pembangunan MRT Fase 4 rute Fatmawati-Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Namun, ada beberapa syarat yang harus terpenuhi sebelum Korea Selatan memastikan investasinya pada proyek itu.
“Yang pertama itu harus dilihat apakah rencana pembangunan MRT tersebut ada di dalam rencana induk,” katanya.
Syarat kedua adalah tingkat kelayakan pembangunan MRT Fase 4 dari aspek ekonomi. Ketiga, adanya dukungan pemerintah dan industri yang kinisedangdikejar PT MRT Jakarta.
Mengapa Gangneung?
Dalam kunjunganke Korea ini, rombongan MRT juga menyambangi beberapa tempat, seperti perusahaan kartu pembayaran transportasi publik bernama T-money, perusahaan di bidang IT, LG CNS, dan pemerintah kota Gangneung.
“Mengapa Gangneung? Karena Gangneung akan menjadi tuan rumah Kongres Dunia ITS Asia Pasifik pada 2026. Gangneung juga layak dijadikan objek studi karena tekadnya untuk menjadikan kotanya sebagai smart city, termasuk di bidang transportasi,” ujar William.
Lalu, sejauh mana rencana kerjasama MRT Jakarta dengan ITS Korea ini bisa segera mengatasi masalah lalulintas di Indonesia, khususnya Jakarta? Ini rupanya akan menjadi PR (pekerjaan rumah) yang sangat besar.
Sebab, Jakarta tidak hanya memiliki MRT, KAI, bus TransJakarta, bus Mayasari, Metromini, dan angkutan pengganti bemo (APB) namun juga jutaansepeda motor (17,38 juta unit, data Polri tahun 2022) yang setiap hari meneror warga Ibu Kota.
Bahkan Dinas Perhubungan DKI menyatakan, jalanan Ibu Kota dikuasai 72,8 persen sedangkan kendaraan roda empat sebesar 26,5% dan kendaraan berat seperti bus atau truk 0,7%. Tentu saja menangani lalulintas Ibu Kota tugasnya semua pihak, bukan hanya tugas Dirut MRT.***