Sudut Pandang

Sudut Pandang Ibu dan bungsu saya seringkali berdebat. Sudah saya tengahi dengan bilang kalian itu beda generasi. Gapnya terlalu jauh. Tumbuh besar di era berbeda, dengan dunia, yang telah berubah sedemikian jauhnya tentu mencuatkan banyak kesalahpahaman.   Bahasa keseharian yang berbeda, dunia digital teknologi dari yang tidak berakses, sampai ke yang tak terhingga aksesnya. Padahal bungsu saya sering diistilahkan generasi Alpha, sudah lebih open minded dibanding generasi saya misalnya.   Suatu hari saya dan si bungsu terlibat obrolan ini. Saya sih yang iseng mengawali. Hal yang pertama tentang berinteraksi dengan beda usia atau beda generasi. Dia memberi tanggapan tentang adanya hal yang menyebalkan. Misal yang tua lebih sotoy (sok tahu), padahal nggak tahu apa-apa, suka ngomel, dan apa-apa dibandingkan masa keemasannya mereka dulu, dan seringkali tidak mau mendengarkan.   Kalau tentang beda agama, suku dan budaya, justru si bungsu merasa seru karena ada aja hal yang baru, yang beda, yang bisa diobrolin. Tentu, tambahnya hal itu makin mungkin bila kita mau mendengarkan.   Jadi, generation gap nyata banget tantangannya, keinginan mendengarkan dan didengarkan juga nyata adanya .Namun, apakah hanya ingin didengarkan saja yang menjadi kebutuhan utama dalam niat menjalin interaksi yang panjang?   Perspektif atau Sudut Pandang Dulu, semasa saya sekolah, istilah perspektif malah muncul di pelajaran menggambar. Namun, menurut KBBI, sebagai sebuah kata perspektif diartikan sudut pandang manusia dalam memilih opini dan kepercayaan mengenai suatu hal. Jadi apabila ada perkataan dia orang yang "memiliki perspektif",  maksudnya adalah dia memiliki sudut pandang  yang jangkauannya cukup luas.   Berger dan Luckmann sebagai ahli teori sosial, menjelaskan lebih lanjut bahwa perspektif sebagai konstruksi sosial terbentuk melalui interaksi sosial dan proses sosialisasi. Jadi tidak langsung dimiliki seseorang sejak dilahirkan.   Filsuf dan sejarawan Prancis, Michel Foucault malah memandang perspektif sebagai hasil dari kekuasaan dan pengetahuan yang terkait dengan struktur sosial dan kelembagaan. Katanya lagi, perspektif membentuk cara kita melihat, memahami, dan mengartikan dunia serta mempengaruhi cara berinteraksi.   Dari ketiga pengertian tersebut,  perhatikan ilustrasi peristiwa seperti ini. Suatu akhir pekan keluarga kami bertamasya ke pantai. Ada hal yang berbeda saat itu, karena berbarengan dengan rangkaian hari raya umat Hindu Bali yaitu Galungan dan Kuningan. Banyak pengunjung juga bersembahyang dengan menghaturkan canang  (sesajen) yang diletakkan di pinggir pantai. Tetiba saya berpikir, bagaimana perspektif orang yang berbeda-beda menyaksikan momen itu. Seorang pecinta lingkungan akan merasa senang dengan sesajen di tepi pantai yang bahan-bahannya eco friendly. Terlebih bila tak ada bungkusan plastik yang terselip di antaranya.   Seseorang yang tadi menaruh sesajen itu, tentu berdoa untuk semesta yang rahayu, bersyukur akan apa yang telah diterima.   Seseorang yang tidak mengerti tentang menghaturkan sesajen dan alasan relijius di belakangnya, tentu akan menafikan aspek persembahan di dunia modern, apalagi bila dibenturkan agamanya sendiri.   Seorang traveller yang senang hal-hal lokal, tentu tidak mempermasalahkan kehadiran sesajen untuk menjadi bagian dari fotomu.   Seseorang yang mencintai pantai, apalagi di Bali, tentu biasa dengan keikutsertaan sesajen pada hari-hari tertentu, bahkan merasakan kesenangan tentang ombak yang masih ramah, cuaca yang cerah meski berangin, dan banyak keluarga menikmati akhir pekan bersama.   Seseorang yang merasa tak terlalu ingin bepergian, dan lebih menyukai sendirian di rumah, mungkin merasa terganggu dengan hiruk pikuk pantai hari itu, dengan haturan sesajen di sana sini.   Berbeda-beda, bukan? Apakah karenanya, kita ingin memaksakan, tidak sengaja membenturkan sudut pandang maupun perspektif kepada orang lain, dengan alasan PoV kita lebih baik, atau menuduh org lain egois (padahal diri sendiri yang demikian), atau merasa semua orang harus punya PoV dan perspektif yang sama?   Tentang mengubah perspektif Sebagai sebuah alam semesta kecil, tubuh kita pun bereaksi ketika tebersit keinginan untuk mengubah perspektif.   Karena, ketika berpikir dengan sudut pandang orang lain, otak menunjukkan aktivasi pada bagian yang bertanggung jawab akan kondisi mental dan kerja ingatan serta sumber untuk memunculkan perhatian yang selektif dan upaya mengapresiasi. Juga mengaktifkan bagian otak lain yang mengatur berpikir secara sosial termasuk berjejaring dengan orang lain.   Ketika menggunakan sudut pandang orang lain (ada yang mengistilahkannya dengan berempati), kita bisa merasakan di dalam hati, betapa menyedihkan atau betapa berat hari-hari yang mereka lalui. Namun, hal ini sungguh tak mudah.   Contoh terdekat, sebuah percakapan di film yang sedang tayang baru-baru ini. Godzilla X Kong. Seorang kreator konten yang ikut sampai ke rongga bumi, ditegur oleh rekannya yang merupakan dokter hewan khususnya hewan-hewan atau monster yang tidak biasa.   Kreator konten itu begitu sibuk mendokumentasikan kehidupan di sebuah peradaban tak tersentuh modernitas di dalam rongga bumi. Merasa hal itu akan menarik dijadikan konten, merasa dunia luar dan peradaban modern perlu mengetahuinya. Namun, apa kata dokter hewan tersebut?   “Ketika videomu ini sampai ke luar sana, kamu memang terkenal, tapi peradaban mereka mulai berangsur punah.” Sebuah pernyataan yang sangat benar dan kenyataan yang sungguh pahit. Demikianlah yang telah terjadi ketika dokumentasi masyarakat/kebudayaan kuno ditayangkan luas, hal itu malah menggugah orang untuk tahu lebih banyak, tanpa mengindahkan munculnya gangguan pada kehidupan masyarakat tersebut.   Akhirnya kreator konten itu mengurungkan niat untuk melanjutkan dan menikmatinya sendiri, karena merasa menyetujui pernyataan tersebut.   Belajar PoV Orang Lain Karena perspektif tak serta merta dimiliki setiap orang sejak lahir, mempelajarinya sebagai individu atau mengajarkannya sebagai orang tua, tentu menjadi krusial di kehidupan yang makin beragam ini.   Pada sebuah laman psikologi, saran tentang langkah-langkah berikut diberikan kepada seseorang yang ingin memiliki perspektif yang lebih luas.   Langkah 1 Pikirkan apa yang membuat kita merasa tidak sepakat. Dengan siapa? Apa yang kita rasakan? Langkah apa yang mau kita lakukan? Tuliskanlah, sehingga akan membantu kita memahami cara berpikir dan cara merespons hal tersebut.   Dari menganalisa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita menjadi paham inti permasalahannya apa. Manusianya kah yang tidak kita sukai? Identitasnya kah yang jauh berbeda, sehingga kita sulit memahami. Atau status sosial budaya yang membuat kita sulit melihat perbedaannya.   Lalu, apa yang mau kita lakukan terhadapnya. Berjarak, atau mau tak mau dekat karena satu tim, atau kita memang hendak memutuskan tali silaturahmi? Jawaban itu tentu akan membentuk reaksi kita terhadapnya.   Langkah dua Pikirkan dengan sungguh-sungguh apa pandangan dia yang menganggu kita. Bagaimana dia merespons kita selama ini? Apa maksud sesungguhnya dari ketidaksepakatan dan konflik tersebut? Ambil waktu beberapa saat untuk berpikir dan menganalisa ketidaksepakatan itu dari sudut pandangnya.   Langkah Tiga Kembali kepada sudut pandang kita sendiri. Jawablah lagi pertanyaan yang ada pada langkah satu. Apakah masih sama? Atau ada perubahan, karena kita telah melakukan langkah dua? Atau malah berubah sangat berbeda dari jawaban di awal.   Mengamati langkah-langkah itu termasuk menuliskannya di sini, kelihatannya mudah ya. Sayangnya kita pun masih punya keinginan untuk juga bisa dimengerti orang lain. Kenyataan lain juga, kecepatan munculnya rasa benci kepada orang yang kita anggap ‘lawan’ melebihi kecepatan proses berpikir kita yang jernih dan tak emosional. Lalu, bagaimana?   Seorang teman saya membisikkan, ‘kamu harus sering keluar rumah, sering berinteraksi dengan banyak orang dari berbagai budaya dan latar belakang. Memang, sih tak serta merta kita bisa memiliki perspektif yang lebih luas. Nah, ketika bisa mendapat kesempatan itu, belajarlah mengamati dan merespons dengan cara yang baik, serta bersikap rendah hati untuk juga mendengarkan.”   Saya pikir, pernyataan itu sungguh benar adanya. Karena saat sekarang di mana dunia hirup pikuk dan bising dengan konten-konten yang haus popularitas dan cuan, konten yang ingin didengarkan, dimengerti dan dipahami, kehadiran orang yang mau mendengarkan dan melihat segala sesuatu dengan perspektif yang lebih luas, sungguh ibarat oase yang menyejukkan.   Yuk, kita belajar mengupayakannya!

Apa pendapat anda tentang memebrikan sesaji di jalan di Bali ? Generasi gap berbeda nyata, terlebih dari 3 sudut pandang orang yang berbeda latar belakang ( Foto : CoPilot/ Seide)

Ibu dan bungsu saya seringkali berdebat. Sudah saya tengahi dengan bilang kalian itu beda generasi. Gapnya terlalu jauh. Tumbuh besar di era berbeda, dengan dunia, yang telah berubah sedemikian jauhnya tentu mencuatkan banyak kesalahpahaman.

Bahasa keseharian yang berbeda, dunia digital teknologi dari yang tidak berakses, sampai ke yang tak terhingga aksesnya. Padahal bungsu saya sering diistilahkan generasi Alpha, sudah lebih open minded dibanding generasi saya misalnya.

Suatu hari saya dan si bungsu terlibat obrolan ini. Saya sih yang iseng mengawali.

Hal yang pertama tentang berinteraksi dengan beda usia atau beda generasi. Dia memberi tanggapan tentang adanya hal yang menyebalkan. Misal yang tua lebih sotoy (sok tahu), padahal nggak tahu apa-apa, suka ngomel, dan apa-apa dibandingkan masa keemasannya mereka dulu, dan seringkali tidak mau mendengarkan.

Kalau tentang beda agama, suku dan budaya, justru si bungsu merasa seru karena ada aja hal yang baru, yang beda, yang bisa diobrolin. Tentu, tambahnya hal itu makin mungkin bila kita mau mendengarkan.

Jadi, generation gap nyata banget tantangannya, keinginan mendengarkan dan didengarkan juga nyata adanya .Namun, apakah hanya ingin didengarkan saja yang menjadi kebutuhan utama dalam niat menjalin interaksi yang panjang?

Perspektif atau Sudut Pandang

Dulu, semasa saya sekolah, istilah perspektif malah muncul di pelajaran menggambar. Namun, menurut KBBI, sebagai sebuah kata perspektif diartikan sudut pandang manusia dalam memilih opini dan kepercayaan mengenai suatu hal. Jadi apabila ada perkataan dia orang yang “memiliki perspektif”,  maksudnya adalah dia memiliki sudut pandang  yang jangkauannya cukup luas.

Berger dan Luckmann sebagai ahli teori sosial, menjelaskan lebih lanjut bahwa perspektif sebagai konstruksi sosial terbentuk melalui interaksi sosial dan proses sosialisasi. Jadi tidak langsung dimiliki seseorang sejak dilahirkan.

Filsuf dan sejarawan Prancis, Michel Foucault malah memandang perspektif sebagai hasil dari kekuasaan dan pengetahuan yang terkait dengan struktur sosial dan kelembagaan. Katanya lagi, perspektif membentuk cara kita melihat, memahami, dan mengartikan dunia serta mempengaruhi cara berinteraksi.

Dari ketiga pengertian tersebut,  perhatikan ilustrasi peristiwa seperti ini.

Suatu akhir pekan keluarga kami bertamasya ke pantai. Ada hal yang berbeda saat itu, karena berbarengan dengan rangkaian hari raya umat Hindu Bali yaitu Galungan dan Kuningan. Banyak pengunjung juga bersembahyang dengan menghaturkan canang  (sesajen) yang diletakkan di pinggir pantai.

Tetiba saya berpikir, bagaimana perspektif orang yang berbeda-beda menyaksikan momen itu.  Seorang pecinta lingkungan akan merasa senang dengan sesajen di tepi pantai yang bahan-bahannya eco friendly. Terlebih bila tak ada bungkusan plastik yang terselip di antaranya.

Seseorang yang tadi menaruh sesajen itu, tentu berdoa untuk semesta yang rahayu, bersyukur akan apa yang telah diterima.

Seseorang yang tidak mengerti tentang menghaturkan sesajen dan alasan relijius di belakangnya, tentu akan menafikan aspek persembahan di dunia modern, apalagi bila dibenturkan agamanya sendiri.

Seorang traveller yang senang hal-hal lokal, tentu tidak mempermasalahkan kehadiran sesajen untuk menjadi bagian dari fotomu.

Seseorang yang mencintai pantai, apalagi di Bali, tentu biasa dengan keikutsertaan sesajen pada hari-hari tertentu, bahkan merasakan kesenangan tentang ombak yang masih ramah, cuaca yang cerah meski berangin, dan banyak keluarga menikmati akhir pekan bersama.

Seseorang yang merasa tak terlalu ingin bepergian, dan lebih menyukai sendirian di rumah, mungkin merasa terganggu dengan hiruk pikuk pantai hari itu, dengan haturan sesajen di sana sini.

Berbeda-beda, bukan? Apakah karenanya, kita ingin memaksakan, tidak sengaja membenturkan sudut pandang maupun perspektif kepada orang lain, dengan alasan PoV kita lebih baik, atau menuduh org lain egois (padahal diri sendiri yang demikian), atau merasa semua orang harus punya PoV dan perspektif yang sama?

Tentang mengubah perspektif

Sebagai sebuah alam semesta kecil, tubuh kita pun bereaksi ketika tebersit keinginan untuk mengubah perspektif.

Karena, ketika berpikir dengan sudut pandang orang lain, otak menunjukkan aktivasi pada bagian yang bertanggung jawab akan kondisi mental dan kerja ingatan serta sumber untuk memunculkan perhatian yang selektif dan upaya mengapresiasi. Juga mengaktifkan bagian otak lain yang mengatur berpikir secara sosial termasuk berjejaring dengan orang lain.

Ketika menggunakan sudut pandang orang lain (ada yang mengistilahkannya dengan berempati), kita bisa merasakan di dalam hati, betapa menyedihkan atau betapa berat hari-hari yang mereka lalui. Namun, hal ini sungguh tak mudah.

Contoh terdekat, sebuah percakapan di film yang sedang tayang baru-baru ini. Godzilla X Kong. Seorang kreator konten yang ikut sampai ke rongga bumi, ditegur oleh rekannya yang merupakan dokter hewan khususnya hewan-hewan atau monster yang tidak biasa.

Kreator konten itu begitu sibuk mendokumentasikan kehidupan di sebuah peradaban tak tersentuh modernitas di dalam rongga bumi. Merasa hal itu akan menarik dijadikan konten, merasa dunia luar dan peradaban modern perlu mengetahuinya. Namun, apa kata dokter hewan tersebut?

“Ketika videomu ini sampai ke luar sana, kamu memang terkenal, tapi peradaban mereka mulai berangsur punah.” Sebuah pernyataan yang sangat benar dan kenyataan yang sungguh pahit. Demikianlah yang telah terjadi ketika dokumentasi masyarakat/kebudayaan kuno ditayangkan luas, hal itu malah menggugah orang untuk tahu lebih banyak, tanpa mengindahkan munculnya gangguan pada kehidupan masyarakat tersebut.

Akhirnya kreator konten itu mengurungkan niat untuk melanjutkan dan menikmatinya sendiri, karena merasa menyetujui pernyataan tersebut.

Belajar PoV Orang Lain

Karena perspektif tak serta merta dimiliki setiap orang sejak lahir, mempelajarinya sebagai individu atau mengajarkannya sebagai orang tua, tentu menjadi krusial di kehidupan yang makin beragam ini.

Pada sebuah laman psikologi, saran tentang langkah-langkah berikut diberikan kepada seseorang yang ingin memiliki perspektif yang lebih luas.

Langkah 1

Pikirkan apa yang membuat kita merasa tidak sepakat. Dengan siapa? Apa yang kita rasakan? Langkah apa yang mau kita lakukan? Tuliskanlah, sehingga akan membantu kita memahami cara berpikir dan cara merespons hal tersebut.

Dari menganalisa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita menjadi paham inti permasalahannya apa. Manusianya kah yang tidak kita sukai? Identitasnya kah yang jauh berbeda, sehingga kita sulit memahami. Atau status sosial budaya yang membuat kita sulit melihat perbedaannya.

Lalu, apa yang mau kita lakukan terhadapnya. Berjarak, atau mau tak mau dekat karena satu tim, atau kita memang hendak memutuskan tali silaturahmi? Jawaban itu tentu akan membentuk reaksi kita terhadapnya.

Langkah dua

Pikirkan dengan sungguh-sungguh apa pandangan dia yang menganggu kita. Bagaimana dia merespons kita selama ini? Apa maksud sesungguhnya dari ketidaksepakatan dan konflik tersebut? Ambil waktu beberapa saat untuk berpikir dan menganalisa ketidaksepakatan itu dari sudut pandangnya.

Langkah Tiga

Kembali kepada sudut pandang kita sendiri. Jawablah lagi pertanyaan yang ada pada langkah satu. Apakah masih sama? Atau ada perubahan, karena kita telah melakukan langkah dua? Atau malah berubah sangat berbeda dari jawaban di awal.

Mengamati langkah-langkah itu termasuk menuliskannya di sini, kelihatannya mudah ya. Sayangnya kita pun masih punya keinginan untuk juga bisa dimengerti orang lain. Kenyataan lain juga, kecepatan munculnya rasa benci kepada orang yang kita anggap ‘lawan’ melebihi kecepatan proses berpikir kita yang jernih dan tak emosional. Lalu, bagaimana?

Seorang teman saya membisikkan, ‘kamu harus sering keluar rumah, sering berinteraksi dengan banyak orang dari berbagai budaya dan latar belakang. Memang, sih tak serta merta kita bisa memiliki perspektif yang lebih luas. Nah, ketika bisa mendapat kesempatan itu, belajarlah mengamati dan merespons dengan cara yang baik, serta bersikap rendah hati untuk juga mendengarkan.”

Saya pikir, pernyataan itu sungguh benar adanya. Karena saat sekarang di mana dunia hirup pikuk dan bising dengan konten-konten yang haus popularitas dan cuan, konten yang ingin didengarkan, dimengerti dan dipahami, kehadiran orang yang mau mendengarkan dan melihat segala sesuatu dengan perspektif yang lebih luas, sungguh ibarat oase yang menyejukkan.

Yuk, kita belajar mengupayakannya!

yang (Tak) Senantiasa Abadi

Rupa-rupa Wajah dan Mental Manusia ala Squid Game

Selebrasi Ibu Setiap Hari

Avatar photo

About Ivy Sudjana

Blogger, Penulis, Pedagog, mantan Guru BK dan fasilitator Kesehatan dan Reproduksi, Lulusan IKIP Jakarta Program Bimbingan Konseling, Penerima Penghargaan acara Depdikbud Cerdas Berkarakter, tinggal di Yogyakarta