Ruang auditorium di lantai dasar bangunan gedung berlantai empat yang berdiri di halaman rumah Ibu Susi Pudjiastuti itu, awalnya digunakan sebagai tempat berkumpul anak-anak usia SD/SMP dari kampung sekitar, di Pangandaran. Setiap minggu, anak-anak kampung diajak nonton National Geographic, Discovery, Animal Planet dan kanal pengetahuan internasional lainnya. Tujuannya, “Supaya mereka melihat dunia, sekalian belajar bahasa Inggris,” kata Bu Susi. Sebagai penyemangat, anak-anak yang hadir masing-masing dikasih uang jajan lima ribu rupiah.
Sayang, sejak pandemi Covid-19, kegiatan melihat dunia itu terpaksa dihentikan. Auditorium kosong, kemudian difungsikan menjadi lokasi syuting acara teve Cek Ombak yang ditayangkan Metro TV. Selain itu juga digunakan untuk menyimpan puluhan lukisan dari ratusan yang tersimpan di tiga lantai di atas auditorium. Ratusan lukisan, di antaranya sejumlah karya maestro seni rupa setara Nasirun, Kartika Affandi, Djoko Pekik, Hari Boediono, selain karya pelukis penggemar Bu Susi.
Ratusan lukisan itu didapat Bu Susi antara lain dari Sukardi Rinakit, Butet Kartaredjasa dan, “Paling banyak dari Mas Nasirun, yang belum lama ini kirim dua truk lukisan karya pelukis yang dikoleksinya. Saya sudah berteman dengan Mas Nasirun hampir 15 tahun. Dua truk lukisan itu dikirim begitu saja. Tidak saya beli. Mungkin karena rumahnya sempit atau entah apalah lalu dikirim ke sini. Dari semua lukisan yang ada di sini, saya hanya pernah membeli empat lukisan saja. Saya lebih suka beli pesawat,” kata Bu Susi, tertawa lepas.
Dari semua koleksinya, lukisan siapa yang menurutnya paling bagus dan paling disukai?
“Menurut saya semuanya bagus. Semuanya saya suka dan menikmatinya. Tapi, saya bukan orang yang posesif, yang ingin memiliki semuanya, yang terobsesi memiliki banyak hal. Lagi pula saya tidak pernah menganggap semua lukisan itu punya saya. Karena itu saya akan membangun sebuah museum untuk memamerkannya, supaya masyarakat juga bisa ikut menikmati,” kata perempuan yang oleh budayawan Sindhunata disebut Susi Duyung.
Bu Susi tidak sedang beromong-kosong. Perempuan laut ini sudah sejak lama menyiapkan lahan seluas sembilan hektar di Pangandaran, sekitar 30 kilometer dari rumahnya. Lahan seluas 90.000 M2 itu, “Saya jadikan kampung seni atau entah apalah nanti namanya. Untuk lebih jelasnya bisa tanya langsung arsiteknya. Nanti saya kasih nomor kontaknya,” katanya.
Ketika menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan, perempuan yang tidak posesif dan bersahaja ini telah dengan tegas dan keras menjaga kedaulatan, sumber daya dan kekayaan laut sebagai masa depan bangsa Indonesia. Sebagian pejabat dan pebisnis mencap kebijakannya kontroversial, dan sebagian besar rakyat mendukung tindakannya. Sayangnya, gelombang dan buih-buih politik yang multikepentingan, membuat Bu Susi tak lagi dipilih Presiden. Setahun berikutnya, kita tahu, menteri penggantinya ditangkap KPK. Kapal pencuri ikan dan pembuang limbah berat kembali menerobos kedaulatan laut Indonesia. Dengan kata lain, politik kelautan dan perikanan kembali amburadul dan kedaulatan laut lagi-lagi kembali terancam.
Tapi, kita tentu ingat John F Kennedy yang mengatakan bahwa, “Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya.” Setelah tak lagi menjabat menteri kelautan dan perikanan, Bu Susi tidak pernah meninggalkan laut. Ia adalah Susi Duyung. Ketika seorang netizen bertanya apakah kabar dirinya bakal maju menjadi Capres 2024 itu benar atau hoaks, secara berseloroh ia menjawab, “Bukan hoaks, karena saya memang presiden Republik Ikan.”
Itu sebabnya Bu Susi mulai membangun kampung seni seluas sembilan hektar untuk dijadikan laut seni budaya. Seperti samudera yang selalu menghidupi dan berbagi kehidupan pada manusia dan sesamanya, kampung seni yang sedang dibangun Susi Duyung tak lain adalah laut seni budaya yang bersetia berbagi estetika, kearifan, kekayaan dan keagungan seni budaya Indonesia. Laut seni budaya Republik Ikan, tempat di mana politik nista dan haus kuasa harus ditenggelamkan dan dibasuh bersih untuk digantikan politik yang memuliakan kemanusiaan. Sederhana saja. ***
*Harry Tjahjono