Seide.id – Dunsanak, apa yabg berkelebat dalam benak, ketika mendengar atau terbaca nama Suzanna?.
Sebagai orang jadul, tentu file memori dalam benakku langsung mencerna dan bekerja,…tuiiing!
Pertama, sebagai orang jadul, tentu langsung tergambar wajah Suzanna, bintang film jadul yang cantik, seksi (malah ada yang ‘berani’ menjuluki: magma perfilman Indonesia modern). Lalu, Suzanna Anggarkusuma, petenis legendaris putri kita. Susi Susanti, pemain bulutangkis putri yang juga legenda kita. Suzy Quatro, rocker cantik, mungil dengan gitar bas lebih besar dari tubuhnya. Dan, …boneka Susan.
Anak milenial pasti langsung teringat nama Susi Pudjiastuti, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan kita yang lugas, tegas tapi asyik. Berpendidikan formal tak tinggi, tapi bisa bekerja cerdas, funky dan tak suka ja’im. Lagu disco berjudul Susana yang pernah hit di tahun ’80an. Juga Susana Hoffs, ‘magnet cantik dan seksi’, vocalis, gitaris, pencipta lagu dan ‘nyawa’ band the Bangels. Eh, anakku nyeletuk: “Susana Hoffs itu musisi jadul, kaleee!”…
Yang ingin aku blanyongkan sekarang ini adalah Suzanna, sang ‘magma perfilman Indonesia modern’ itu.
Suzanna, Ilustrasi Aries Tanjung
Nama lengkapnya Suzzanna Martha Frederika van Osch. Perempuan indo Belanda dan Magelang (?), kelahiran 13 Oktober 1942, wafat 15 Oktober 2008. Jika aku membaca novel “Bumi Manusia”nya Pramudya Ananta Toer, ketika sampai pada tokoh Anelis, wanita indo Belanda anak Nyi Ontosoroh, kekasih Minke,…tak bisa tidak, langsung tergambar wajah Suzanna.
Film-film Suzanna yang aku lupa-lupa ingat pernah menontonnya adalah: “Bernafas dalam Lumpur”, “Bumi makin Panas”, “Beranak dalam Kubur” dan “Tuan Tanah Kedaung”. Judul-judul yg dahsyat, ‘sangat filmis’ dan cathy. Judul-judul yang sangat menarik perhatian dan cerdas.
Ceritanya, sungguh khas cerita-cerita film, novel atau bahkan komik,…antara tokoh baik dan buruk selalu digambarkan dengan sangat jelas dan kontras.
“Bernafas dalam Lumpur” tentang seorang gadis lugu dari suatu desa, mencari suaminya di kota. Sampai di kota, suaminya -bisa diduga- sudah kaya raya, dan (tentu saja, haha) berperangai buruk. Sang suami bahkan tega-teganya mengusir sang istri yang sudah capek-capek mencarinya ke kota. Sang wanita (yang terlalu cantik, ‘klimis’ dan ‘kinyis-kinyis’ sebagai perempuan desa) terluta-lunta di kota. Lalu ‘dipertemukan’ dgn pemuda tampan, kaya raya dan baik hati. Sebuah ‘happy ending’ nan sempurna.
“Bumi makin panas”. Nha,…waktu film ini beredar tahun ’73, umurku baru 14 tahun (pasti ada yang iseng menghitung umurku sekarang, hahaha). Dari judulnya, bisa diduga, aku belum boleh menonton film ini, meski umur 14, bagi anak lelaki sudah akil-balik. Lalu karena penasaran, aku bertanya kepada teman-teman seniorku yang sudah 17 tahun ke-atas. Mereka bilang: “Aah, filmnya tak sepanas judulnya!”.
Film ini bercerita tentang ‘wanita baik-baik’ vs ‘bukan wanita baik-baik’. Sang pemuda kekasih ‘wanita baik-baik’ malah jatuh cinta kepada bukan wanita baik-baik’. Suatu malam, ‘wanita baik-baik’ yang tak rela kekasihnya terpikat kepada ‘bukan wanita baik-baik’ menunggu kedatangan mereka di tempat tersembunyi dengan…senjata api. Sang ‘wanita baik-baik’ lalu menembak sosok yang ternyata… kekasihnya.
“Beranak dalam Kubur” adalah cerita berbau horor yanfg sangat mencekam bagi pecinta flilm bertema horor. Film ini berdasarkan komik Ganes Th yang (kalau tak salah) juga menulis skenarionya.
Ceritanya tentang perempuan baik dan cantik vs saudara tirinya sendiri (Mieke Wijaya bintang cantik lain yang selalu berperan antagonis), yang sangat kejam, di sebuah rumah perkebunan mewah, besar dan angker milik tuan tanah perkebunan kaya-raya. Wanita cantik dan baik (Suzanna) yang sedang hamil tua, alih-alih dibantu menjelang melahirkan, malah hendak dibunuh, lalu dikubur. Tetapi ternyata tak mati…
Film “Tuan Tanah Kedaung”, aku anggap pencapaian maksimal dari perfilman modern Indonesia. Baik dari sisi cerita yang konpleks dan complicated (lagi-lagi dari komik Ganes Th). Tokoh-tokoh cerita dengan berbagai karakter yang diperankan dengan yahud oleh hampir semua pemainnya (terutama Maruli Sitompul dan Farouk Afero, juga Mieke Wijaya). Sebuah film Indonesia yang menurutku sangat layak jika dibuat ulang.
Film-film berikutnya ketika dia berperan sebagai tokoh-tokoh supranatural atau sekitar klenik dan hantu dalam film-filmnya, aku tak lagi tertarik untuk menonton. Apalagi, dengan teknik animasi dan efek perfilman kita yang waktu itu masih,…yaa gitu deh, ditambah karena aku tak suka film-film horor,…bukannya serem,…malah lucu.
Eh, gomong-ngomong tentang film “Tuan Tanah Kedaung” yang sangat layak dibuat ulang, Suzanna pun sebagai ‘magma perfilman Indonesia modern’, kayaknya sangat layak jika dibuat biopic-nya. Karena kehidupan pribadi di luar film-film yang diperankannya tak kalah menarik.
Ari, anaknya yang tampan, mati muda. Konon terlibat dalam perkelahian. Kiki, adik Ari yang konon tak begitu akur dengannya, ternyata cukup sukses di dunia musik.
Pernikahannya yang kandas. Pernikahan ke-dua dengan pria yang jauh lebih muda dan bintang film laga. Perebutan harta. Pertengkaran dan perselisihan berkepanjangan antara suami baru dengan Kiki, si anak tiri. Persoalan hukum serius antara suami baru vs menantu,…dst, dll,…dsbg.
Sang ‘magma perfilman Indonesia modern’ ini, Jumat kemarin, 13 Oktober berulang tahun.
Selamat Ulang Tahun, Suzanna. Jika masih ada, umurmu 80 tahun sekarang.
Terimakasih telah menghidupi perfilman Indonesia. Salam buat Dicky Suprapto dan Ari, jika bejumpa di sana…
(Aries Tanjung)