Oleh EFFI S HIDAYAT
Di tengah berbagai provokasi kebencian yang kini begitu mudah disebarkan lewat berbagai cara, mengapa kita tidak mencoba menjadikan kebencian itu sesuatu yang bermanfaat sekaligus indah?
Pernahkah Anda bertemu dengan orang yang selalu bercerita tentang dendam kesumatnya dari waktu ke waktu? Ibarat pita kaset zaman baheula, mungkin sudah soak akibat terlalu sering diputar bolak-balik dengan lagu yang itu-itu lagi.
Ya, saya punya seorang teman yang seperti itu. Pertanyaan saya cuman satu, “Kok, tidak lelah, ya, mendendam dan membenci seseorang atau sesuatu? “
Setelah sekian lama, akhirnya dengan tegas saya katakan, “Maaf, saya bosan dengan ceritamu. Sama sekali tak ada harapan untuk menarikmu dari kubangan dendam yang kau gali sendiri. Orang yang kau limpahi dendam mungkin malah enak-enak tidur pulas dan tak peduli kau sumpah serapahi. Bukankah kamu sendiri yang rugi?”
Bagi kebanyakan orang biasanya rasa marah dan dendam hanya bercokol sebentar di hati, lalu hilang sendiri terbilas waktu. Karena, tubuh secara otomatis akan melindungi diri dari berbagai rasa tak enak – marah dan dendam di antaranya– antara lain dengan menciptakan : lupa.
Tapi mungkin memang ada sebagian orang yang memiliki kemampuan khusus untuk menyimpan dendam dan terus mengipasinya sepanjang waktu. Sehingga dendam dan kebencian itu terus membara.
Sayangnya belakangan ini, seiring dengan maraknya media sosial dan era keterbukaan di negeri ini, tampaknya justru yang terakhir inilah yang tampil lebih nyata. Kita tentu masih ingat yang terjadi pada Pilpres 2014 lalu, ketika para pendukung Jokowi dan pendukung Prabowo terpecah-belah menjadi dua kubu yang bermusuhan dan saling melontarkan fitnah dan kebencian terhadap satu sama lain.
Mungkin ada yang beranggapan bahwa membenci adalah sesuatu yang manusiawi alias normal pada manusia, di belahan mana pun dan di zaman apa pun. Namun bagi saya, membenci sesuatu atau seseorang, apalagi sampai kesumat,adalah sesuatu yang serius. Bayangkan, dendam yang berurat-akar itu ternyata bisa juga diwariskan sebagai penyakit turunan, bahkan bisa di bawah hingga ke liang lahat.
Saya sangat miris saat melihat di TV, sejumlah anak-anak di bawah umur diajak berdemo di depan Gedung DPRD DI Jakarta beberapa waktu lalu. Tak lain hanya demi memenuhi kuota ‘sejuta umat’ untuk melengserkan Ahok sebagai Gubernur Jakarta.
Lebih celaka lagi, para orang tua sengaja membiarkan anak-anak kecil ini berdemo hanya demi mengejar sejumlah uang dan sebungkus nasi. Mereka tak sadar bahwa hal itu sama saja dengan mengajarkan kepada generasi muda untuk saling menebar kebencian sesama umat manusia. Anak-anak kecil itu ikut menggotong papan Bertulis kan “Orang Muda Islam Tolak Ahok!”
Winda,seorang teman, bercerita bahwa putrinya, Nanda (2 tahun) dan sedang bermain luncuran di taman, tiba-tiba didatangi seorang anak perempuan berkerudung yang kemudian mendorong Nanda sembari berteriak, “Kamu masuk neraka! Kamu masuk neraka! “
Hanya karena Nanda saat itu mengenakan busana tak berlengan dan tentu saja tanpa kerudung. “Bayangkan, anak sekecil itu berani bilang anakku bakal masuk neraka! Siapa sih, yang ngajarin?,” ungkap Winda yang juga Muslim, kesal.
Kembali ke urusan dendam personal, seorang teman pernah melempar tanya di facebook. “Kalau kamu punya tetangga supernyinyir dan suka ikut campur urusan orang lain, enaknya diapain, ya?” Tanggapan yang masuk beraneka ragam . Mulai dari “dimutilasi”, “disantet”, hingga ” didoakan saja”.
Lalu, apa tanggapan saya? “Kirimi dia makanan, ajak ngobrol. Lama-lama hatinya lumer dan akhirnya jadi malu hati sendiri karena orang yang dibencinya malah bersikap begitu baik!”
Saya tak pernah melupakan amanat almarhumah ibu saya. “Semakin seseorang membencimu, maka justru semakin berbaik hatilah kamu kepadanya.”
Mantra itu pernah saya praktikkan sendiri dan… berhasil!
Kalau tak mampu berbuat semulia itu, ada lho, cara lain untuk membalaskan dendam tanpa harus membuat hati kita berkarat dengan rasa benci. Contohnya kisah seorang istri yang pernah dihina mati-matian oleh suaminya karena dianggap tak becus masak.
Setelah bercerai, sang istri lalu belajar memasak secara serius dan akhirnya sukses di bisnis resto berkat kepiawaiannya membuat pastry! Sungguh sebuah sweet revenge, bukan?
Ya, mengapa tidak menjadikan kebencian sebagai sesuatu yang bermanfaat, membawa dampak positif, dan sekaligus Indah? Sweet Revenge adalah sebuah balas dendam yang cerdas!