Taj Mahal

Sekitar 15-20 tahunan belakangan ini, literasi dunia, terutama Eropa begitu terpesona kepada penulis India. Tulisan tentang apa saja. Berita, puisi, cerpen atau prosa. Terutama penulis novel. Mereka begitu kaya. Baik bahan atau hal-hal yang diceritakan (tentu, karena banyak sekali persoalan unik yang menginspirasi dan ingin diceritakan, mengingat penduduknya begitu besar!), maupun cara mereka bercerita. Pilihan kata ketika mereka bercerita dan bertutur.

Sebetulnya di India, budaya literasi (dan juga teknogi?) sudah sejak dulu kala berjaya. Paling tidak dulu, aku sudah mengenal Rabindranath Tagore.

Tapi ketika masuk ke ‘zaman literasi modern’ (th 1980-awal 2000an?), dunia literasi India seperti mati suri. Mungkin karena terlalu sibuk ‘mencari kebutuhan hidup’, karena jumlah populasi India begitu ‘mengerikan’, yaitu 800an juta jiwa. Semuanya perlu makan..!.

Lalu di zaman yang disebut postmodern ini, dunia literasi yang digerakan oleh begitu banyak penulis-penulis muda, perlahan tapi pasti, kembali meraih banyak perhatian dan penghargaan dunia.

Aku, cuma salah seorang yang latah saja mengikuti fenomena itu.

Ada beberapa penulis India yang aku ikuti novelnya, karena kerap disebut-sebut sebagai beberapa penulis berbakat dalam setiap pemberitaan media.

Dari beberapa penulis itu antara lain ada nama-nama: Vikram Seth, Banerji Divakaruni, Kiran Desai, dll.

Vikram Seth, disebut-sebut sebagai penulis romantis. Karena selain menulis novel, dia juga penulis puisi. Adakah penulis puisi otomatis romantis, entahlah. Tapi ketika membaca novelnya, aku setuju belaka jika dia dijuluki penulis romantis. Tulisannya ketika membangun suasana, begitu detail, indah dan menkjubkan, meski itu hanya sebuah lagu atau gubahan musik misalnya. Kadang, sku berhenti membaca sejenak membayangkan adegan yang digambarkan dalam tulisan.

Para penulis ‘generasi baru’ India rata-rata mengenyam dunia pendidikan Eropa (terutama Inggris), maka novel-novel mereka ditulis dalam bahasa Inggris. Tentu banyak yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dan ‘terpaksa’ di sana-sini mungkin terdapat kekurangtepatan idiom atau distorsi makna. Bayangkan (seandainya) mereka menulis dalam bahasa ibu mereka (Hindi? Urdu?), kalu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Lalu dari bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Maka untuk novel Vikram Seth ini, untuk menikmati tulisan yang diendors sebagai salah-satu penulis India modern yang paling romatis, aku ‘terpaksa’ (haha, karena bahasa Inggrisku pas-pasan saja) membaca novelnya dalam bahasa Inggris. Konsekuensinya,…aku bolak-balik harus bertanya kepada anak bungsuku.

Novelis Banerji Divakaruni, cenderung pandai menyuguhkan bahan cerita unik. Sesungguhnya sesuatu yang kerap kita lihat bahkan kita alami, tapi mungkin tak terfikirkan bahwa cerita itu bisa menarik jika ditulis. Aku pernah membaca novelnya.

Kisahnya tentang beberapa orang terjebak di sebuah lift bangunan tinggi. Lift itu mati. Orang-orang yang terjebak, awalnya tenang-tenang saja. Sesekali memencet tombol minta pertolongan kepada teknisi lewat semacam alat yang terdapat dalam setiap lift, tapi kita kurang atau bahkan kita tak memperhatikannya.

Jika menggunakan lift di gedung tinggi, aku sering berfikir, bagaimana seandainya lift tiba-tiba mati. Lama tak tertolong. Apa yang harus kita lakukan? Tapi karena aku bukan penulis novel, jadi fikiran itu hanya berputar-putar dalam kepalaku saja.

Akan halnya Divakaruni,…hal itu dijadikan cerita dalam novelnya. Orang-orang yang terjebak dalam lift, menceritakan kisah masing-masing. Mereka saling curhat, tentang perilaku mereka. Dari yang baik, biasa-biasa saja, sampai yang buruk dan bahkan bisa mencelakakan banyak orang. Pendeknya, jika berhasil keluar dari lift dengan selamat, mereka berjanji akan berperilaku baik. Mereka akan menjadi manusia yg lebih baik. Sungguh cerita yang unik.

Kiran Desai lain lagi. Kiran Desai diendorse oleh beberapa kritikus dan perusahaan media. Salah-satu novelnya yg berjudul: The Inheritance of Loss. Cerita tentang seorang pensiunan hakim di pelosok desa di kaki Himalaya yang dingin. Sang pensiunan hakim ‘terpaksa’ merawat cucunya karena sang cucu mendadak menjadi yatim piatu.

Juga tentang seorang pemuda yang diduga oleh tetangganya sukses, karena ‘berhasil’ merantau ke luar negeri, ke kota dunia, Newyork. Padahal sang pemuda di Newyork jadi pendatang liar yang harus kucing-kucingan dengan polisi. Bekerja serabutan untuk sekadar bertahan hidup. Tidur seperti ikan kalengan, berhimpitan dengan pemuda lain dari Asia, Afrika, dan dari negera-begara kecil di Amerika latin.

Dalam salah-satu endors, kritisi menulis: “Dalam usia semuda itu, Kiran Desai sudah mampu menghadirkan humor tajam, cerdas, berselang-seling dengan tragedi kemanusiaan secara bergantian. Sesuatu yg sering diasosiasikan dengan para penulis besar”

Taj Mahal, yang aku gunakan sebagai judul dari blanyonganku ini, sesungguhnya bukan semata-mata cerita tentang Taj Mahal. Penulis novelnya pun aku lupa-lupa ingat. Ada sih, novelnya tapi bertumpuk, terhimpit di rak di antara buku-buku yang aku,…hehe…malas mencari.

Kisahnya tentang seorang ibu miskin, mempunyai anak lelaki cerdas dan tampan. Sang anak, berpacaran dengan remaja kaya raya. Orangtua sang gadis remaja banyak sekali membantu secara ekonomi. Bahkan karena cerdas, sang anak lelaki dibiayai untuk kuliah di Inggris oleh calon mertuanya. Hlaah, ketika kuliah di Inggris, sang anak lelaki jatuh cinta kepada perempuan Inggris, sedikit kebih tua, cerdas yang selalu setia mendampinginya sebagai mentor.

Dalam novel ini, penulisnya seperti ingin melukiskan betapa rasa sayang, kekejaman dan kekuasaan saling berkelindan. Itu dilukisan dengan ilustrasi Taj Mahal.

Seperti diketahui, Taj Mahal adalah bangunan indah yang dibaut oleh seorang raja, bernama Shah Jahan karena rasa sayang teramat sangat kepada salah seorang istrinya. Istrinya yang berdarah persia bernama Arjumand Benu Begum. Arjumand yang jelita mendapat julukan: Mumtaz Mahal, artinya: Permata Istana. Mumtaz meninggal ketika melahirkan anak mereka.

Yang tak diketahui orang adalah: Saking terpesonanya Shah Jahan kepada keelokan bangunan yang dipersembahkan buat istrinya itu,…sang Raja berterimakasih dan menghadiahi arkitek bangunan itu dengan hadiah melimpah?

Bukan, dunsanak. Bukan. Malah sebaliknya. Sang Raja, melarang sang arsitek sejak saat itu membuat bangunan apapun lagi. Jangan sekali-kali terdengar sang arsitek berkiprah di bidang itu. Karena Shah Jahan kuatir bangunan apapun yang dibuat oleh sang arkitek akan lebih elok daripada bangunan yang dipersembahkan buat (salah-seorang istrinya).

Itulah, mungkin yg dimaksud, antara rasa sayang, kekejaman dan kekuasaan dalam hati manusia, tak terukur, tak terduga, saling berkelindan…


Ilustrasi Aries Tanjung : “Taj Mahal”…(akrilik di kertas bekas kalender, 40x35cm)

Aries Tanjung

Tak Terukur Atas Nama Cinta