Aku lupa-lupa ingat, siapa nama novelis India ini, Arundhati Roy atau Chitra Benerjee Divakaruni. Kisahnya tentang kisah cinta ‘biasa saja’.
Tentang seorang pemuda India miskin tapi cerdas. Mendapat beasiswa untuk bersekolah di Inggris. Ibunya pontang-panting menghidupi adik-adiknya bekerja dan berdagang apa saja. Diam-diam menjodohkan anaknya dengan anak gadis kaya. Orang tua sang gadis sudah banyak membantu kehidupan mereka.
Sang pemuda miskin sudah terlanjur kesengsem, mabuk kepayang dan jatuh cinta pada seorang janda berkebangsaan Inggris nan cantik yang membimbingnya selama kuliah sampai memperoleh gelar dan menjadi ‘mentor all-in’ di perantauan.
Ibunya tak bisa berbuat apa-apa. Hanya menelan semua harapan, cinta, rasa malu dan kecewa. Semua perasaan itu ditanggungnya sendiri. Betapa hebatnya sang ibu. Semua perasaan itu, tak diketahui anaknya. Sebuah cerita melodrama yang khas bukan?.
Tapi, tunggu,….potongan ceritanya tentang Taj Mahal, meski seperti menempel saja sebagai ilustrasi kisah cinta itu, membuatku tercekat dan tertegun.
Betapa kedalaman cinta dan kekejaman manusia, sungguh tak terukur.
Taj Mahal adalah sebuah bangunan indah yang “sudah terlanjur” menjadi lambang cinta.
Adalah Syah Jahan yang menjadi raja dan berkuasa selama 31 tahun. Mumtaz, sang istri ke-3 digambarkan adalah perempuan nan cantik dan cerdas. Semua rasa sayang, kasih, kagum, terpesona, hormat dan cinta tercurah kepadanya seorang saja. Seperti istri pertama dan ke-dua tak pernah ada dalam kehidupannya.
Ketika Mumtaz wafat sewaktu dia melahirkan anak mereka, dunia Syah Jahan seperti hancur, luluh-lantak tak tersisa. Ingin rasanya menyusul sang istri ke alam sana. Dengan ‘sedikit kesadaran’ dia bertahan hidup. Lalu, Syah Jahan memerintahkan untuk menbangun suatu yang indah yang dipersembahkan kepada mendiang istrinya. Ketika selesai, Syah Jahan kagum, tercekat. Sebuah bangunan indah yang membuat Syah Jahan hampir mati karena terpesona.
Bangunan itu, sekarang menjadi lambang keindahan cinta nan tiada tara. Dikunjungi oleh wisatawan dari segala penjuru dunia.
Tapi taukah dunsanak, bahwa ada kekejaman di balik keindahan itu?
Supaya bangunan itu menjadi bangunan paling indah, bangunan itu harus menjadi ‘satu-satunya dan tak tersaingi’. Maka Syah Jahan memerintahkan untuk memotong jemari para insinyur dan para tukang bangunan di seluruh negri.
Adakah manusia bisa berfikir sekejam itu atas nama cinta?
Aku sungguh berharap, kisah kekejaman atas nama cinta itu hanya khayalan sang novelis saja.
Sungguh!…
(Aries Tanjung)