Sang pendakwah pulang dengan membawa buntelan uang cash Rp.100 juta. Dan sejak itu tak ada demo anti maksiat lagi.
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
SAAT masih menjadi penjaga gawang halaman hiburan, di koran harian ibukota – beberapa tahun lalu – seorang rekan redaktur halaman kota, menginformasikan bahwa Dinas Pariwisata DKI Jakarta berinisiatif mengumpulkan para pengusaha hiburan di kawasan Mangga Besar, Jakarta Barat, mengantisipasi demo “anti maksiat” yang masa itu marak dilakukan oleh ormas Islam radikal ibukota.
Pejabat Dinas Pariwisata itu kemudian meminta agar para penguasa dunia malam itu patungan dan “bantingan” untuk “nyawer” pentolan ormas yang juga dikenal sebagai penceramah itu. Terkumpullan uang cash Rp.100 juta.
Sebagai alasan, agar tidak terkesan menyerahkan “uang sogokan”, sang pendakwah diundang untuk memberi tausyiah dan berceramah menjelang bulan Ramadhan tiba.
Tak lama kemudian sang penceramah yang disebut sebagai Imam Besar itu, datang dan memberi tausyiah di depan pengusaha hiburan dan hostes, lady escort, pemandu karaoke, bar girl, juga bartender, dan insan malam lainnya, memberi tausyiah.
Tak penting apa yang ditausyiahkan, baik yang menyampaikan maupun yang mendengar – tokh tak ada perubahan apa apa di benak mereka setelah itu. Yang pasti, sang pendakwah pulang dengan membawa buntelan uang cash Rp.100 juta. Dan sejak itu tak ada demo anti maksiat lagi.
Di tempat lain, teman Budhis saya ada yang curhat, di kalangan umat Budha, mereka yang keluarganya sedang meninggal sering mengalami moment tak mengenakkan, saat mendadak kedatangan biksu biksu yang mendoakan arwah. Untuk kedatangannya, tuan rumah memberi angkpau Rp. 3 – 5 juta, tergantung kemampuan dan keikhlasan.
“Banyak biksu yang tidak tahu diri dan rakus, ” katanya. Meski tak diundang mereka datang sendiri, tahu tahu nongol. Dan setelah mendoakan siang, mereka bilang, “Nanti malam saya datang lagi, mendoakan lagi, “ katanya. Artinya harus siap siap angpau lagi.
Saya melonggo mendengar cerita itu. Dan dia bersumpah sumpah bahwa ceritanya nyata.
Seorang biksu atau banthe sebenarnya tak boleh memegang uang, katanya. Tapi banyak foto menunjukkan banyak banthe berdiri di depan ATM dan menghitung uang.
Kemarin beredar ada pendeta kristen yang mengecam pawang hujan. Dia hanya membela agama resmi, dan anti perdukunan dan budaya Nusantara. Tak lama kemudian ada cuitan di twitter bahwa pendeta itu, biasa memasang tarif Rp.40 juta untuk pemberkatan pernikahan . “Tak boleh kurang!” katanya. Akibat insiden itu, pihak keluarga yang menikahkan, mencari pendeta bertarif Rp.5 juta saja.
AGAMA sudah menjadi sangat polutif, sangat komersil, menjadi komoditi, modus pemerasan, dan tokoh tokohnya menjual ayat tanpa malu malu.
Tentu saja itu bukan fenomena lokal. Di negara semaju Amerika, para pendeta menaiki sedan limosin, yang amat panjang dan mengkilap, sementara umatnya, hidup miskin dan papa di getho. Kawasan kumuh.
Televisi adalah media promosi yang ampuh, dan mereka yang ceramah di teve otomatis menaikkan tarif dan angpau saat diundang di acara di dunia nyata.
Saya dapat bocoran bahwa pembawa acara dakwah Minggu siang di teve swasta itu juga berfungsi sebagai manager dan penyelenggara acara (EO) yang mengatur undangan dan penampilan para ustadz yang sudah dipromosikan di teve tersebut.
Tentu saja setelah tampil di teve tarifnya melambung. Plus banyak syarat lengkap bagi pengundang mereka – layaknya artis dan selebritis papan atas. Harus diinapkan di hotel bintang lima, tiket pesawat PP klas bisnis, jemputan SUV mewah atau Toyota Alpard, dan lain lain.
Ada semacam “riders list” – yang biasa dipakai manajemen artis dan grup band klas dunia – yang diterapkan pada penyelenggaraan “show” para pendakwah agama di masa kini.
Ironi yang terjadi, para pendakwah – baik yang bergelar ustad maupun ustadzah – memaswadai adanya kandungan dzat haram yang masuk ke tubuh umatnya, “semili gram pun dzat yang mengandung babi – haram hukumnya!” teriaknya lantang.
Namun mereka pura pura tak tahu, saat menerima gepokan uang atau transferan jutaan – yang didapat dari pengusaha yang menjual daging babi, para koruptor dan pelaku bisnis lendir lainnya. ***