Memanfaatkan semue elemen yang ada untuk merayakan moment penting bagi bangsa – yang penting merah putih! Merayakan Hari Kemerdekaan RI di Tanah Suci Mekah
Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI
ENTAH KENAPA , hingga kini para ‘stake holder’ bahasa kita tak juga memasukkan lema atau kata atau istilah ‘Tujuhbelasagustusan’ ke dalam Kitab Besar Bahasa Indonesia (KBBI) atau apalah nama lainnya untuk kamus Bahasa Indonesia. Padahal lema atau kata atau istilah ini sudah lahir, diucap dan digunakan banyak orang Indonesia, paling tidak sejak setahun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merdeka
‘Tujuhbelasagustusan’ adalah istilah awam atau orang-orang biasa di Indonesia, untuk menyebut acara atau aktivitas berkait perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI, yang sejak tahun 1945 jatuh pada tanggal 17 Agustus. Orang-orang kampung atau para Republiken yang berbahagia karena NKRI sudah merdeka dan berdaulat, merayakan hari lahir Bangsa Indonesia itu, sejak tahun 1946.
Hingga kini, tahun 2021, hari bersejarah ini terus dirayakan oleh segenap elemen bangsa, dimana pun dia atau kelompok bangsa ini berada, dan dalam kesempatan serta kondisi apapun. Dari upacara kenegaraan di Istana Medeka Jakarta, hingga di ‘lahan kosong’ di lingkungan RT/RW di berbagai pelosok negeri, bahkan di belahan terpencil di negeri asing dimana warga Indonesia berada dan beraktivitas.
“Tujuhbelasagustusan itu penting, Bang…! Penting banget buat kita inget sejarah, masa-masa susah para pendiri bangsa ini menegakkan MerahPutih, di meja perundingan bahkan berdarah-darah di berbagai palagan, ngelawan para Belanda bejat dan antek-anteknya yang nggak kalah bejat. Juga Jepang yang fatalis, yang tiga tahun ngangkangin negeri kita, tapi ngerusaknya minta ampun,” kata Mak Wejang.
Saya mengangguk-angguk, membaca ulang hikayat negeri ini yang penuh genangan darah dan airmata, sampai kemudian Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia, diantara cibiran kelompok dan kaum mancla-mencle (“Mereka itu bangsa dewekan, Bro…!” sindir Mak Wejang) yang merasa lebih untung bila kolonialis Belanda tetap berkuasa di bumi Nusantara.
Tonggak kemerdekaan yang sudah ditancapkan pada 17 Agustus 1945 memang tak mudah untuk dipertahankan. Belanda yang 3,5 abad bagai lintah, menyerap habis saripati tanah Indonesia, dan karenanya negeri seuprit di Eropa itu jadi kaya-raya, tetap tak ingin melepas tanah jajahannya. Dengan berbagai cara, negeri penjajah itu terus berusaha balik, menancapkan sangkur jahatnya di Indonesia yang merdeka.
Didukung kaum mancla-mencle Indonesia, yang kata Mak Wejang “Hatinya tetap Merah-Putih-Biru,”, Belanda terus merongrong Indonesia. Tak mudah hilang dari ingatan kita peristiwa-peristiwa berdarah yang dilancarkan pasukan NICA-Belanda. Bandung Lautan Api, Palagan Ambarawa, juga peristiwa pembantaian di Rawa Gede yang antara lain menginspirasi Chairil Anwar menulis puisi Antara Kerawang – Bekasi.
“Indonesia emang merdeka di tahun 1945. Tapi generasi milenial kita juga kudu tahu, ye, Bang…bahwasanya kita baru bener-bener merdeka saat penyerahan kedaulatan dari Negeri Belanda ke Republik Indonesia pada 27 Desember 1947. Entu pun Belanda masih ngangkangin Irian Barat (kini Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua) sampe kita rebut paksa tahun 1963. Bener-bener bejat moral Belanda tempo itu, ye, Bang…!”
Saya setuju, seide dengan apa kata Mak Wejang. Penjajah, siapa pun, kapan pun dan dimana pun memang bejat dan terkutuk. Karena itu hari kemerdekaan perlu buat diperingati. Orang awam Indonesia merayakannya dengan acara Tujuhbelasagustusan, nyaris sebulan penuh. Sejak awal Agustus bendera MerahPutih sudah dikibarkan. Sebisa-bisanya, berangkat dari yang ada, kampung dihias secantik mungkin.
“Yang penting MerahPutih atau yang berkesan merah dan putih,” samber Mak Wejang. Dan seperti dia bilang, hias-rias di kampung dalam rangka Tujuhbelasagustusan, pun jadi semarak dan kreatif. Tak cuma bendera MerahPutih warisan Nyak Babe (yang warna merahnya udah belel jadi kekuning-kuningan, hi…hi…hi…!) yang dikibarkan, tapi juga rancang hias-rias dari berbagai benda. Yang penting bernuansa MerahPutih.
Ihwal pentingnya MerahPutih hadir di upacara Tujuhbelasagustusan, saya jadi ingat pengalaman tahun 2017, saat bermukim di Mekah menjelang puncak musim haji 1438 Hijriyah yang akan jatuh (wukuf) pada tanggal 1 September 2017. Dua hari menjelang Hari Kemerdekaan RI, kami rombongan Haji Mandiri (jamaah haji regular Indonesia yang tak ikut Yayasan bimbingan perjalanan wisata haji) Tangsel sudah tiba di Mekah.
Bersama rombongan lain dari berbagai kota dan daerah di Indonesia, kami ditempatkan di kawasan pemukiman (dengan standar layanan hotel bintang tiga) di Sysha, sekitar 5 Km dari Masjidilharam. Semua jamaah mengelar upacara Tujuhbelasagustusan pada waktunya, walau tak punya bendera MerahPutih untuk dikibarkan, karena satu-satunya mendera MerahPutih milik sektor, harus tetap berkibar di kantor sektor.
“Manfaatkan apa yang ada. Yang penting MerahPutih,” begitu sepertinya tiap orang sama seide. Busana haji (gamis, abaya, dan lainnya) umumnya berwarnah putih. Itu yang dikenakan nyaris semua jamaah saat Hari H, disamping beberapa teman yang kebetulan membawa cadangan T-Shirt warna merah. Alhamdulillah, saat berangkat berhaji kami juga dibekali botol minuman dengan pita tali cangklong MerahPutih.
Siapa mengira bila semua jamaah sama memanfaatkannya menjadi ikat pinggang MerahPutih, kalung MerahPutih, dan (seperti para pejuang ‘bamboe roentjing’ tempo doeloe) seide memanfaatkan pita tali cangklong botol minuman itu sebagai ikat kepala MerahPutih. Keterbatasan yang justru menjadikan upacara Tujuhbelasagustusan di kakilima Mekah itu, terasa lebih khusu dan menggetarkan. Merdeka…! ***
11/08/2021