Cerpen BELINDA GUNAWAN
Aggie meninggalkan mesin jahit, lalu duduk di teras belakang. Ada gaun setengah jadi di pangkuannya.
“Capek?” tanya Randy sambil duduk di sebelahnya.
“Capek hati.”
“Kok?”
“Lihat ini. WA dari Kak Lucy.”
“Apa dia bilang?”
“Baca saja.”
Begini bunyinya: “Gie, sudah ada baju buat Tya komuni pertama? Kamu mujur. Di Met ada, putih, midi, bagus banget. Beli aja, daripada capek-capek bikin. Harganya 750.000, diskon 40 persen, dan kalau pake kartu kredit Megstar dapat lagi 10 persen. Lumayan banget kan. Nih aku kirim fotonya. Kalau mau, cepat sebelum dibeli orang.”
Randy, walaupun lelaki, mengakui bahwa gaun itu cantik. Keren, tidak mewah berlebihan. Tya bakal secantik bidadari.
“Naksir, Gie?”
Aggie menarik napas panjang.
“Terus terang iya. Tapi aku tidak mau maksa.”
Randy tahu apa yang dimaksud istrinya dengan ‘tidak mau maksa.’ Di situ ada kepasrahan, kesederhanaan, kejengkelan pada Lucy si kakak ipar. Juga ada kesedihan dan ketidakberdayaan. Kalau memperturutkan rasa, Randy kepingin langsung mengajak Aggie membeli gaun itu. Tapi dalam hal ini rasa harus diimbangi rasio.
Mendadak teringat olehnya suatu peristiwa.
“Aggie. Aku cerita, ya. Pernah, waktu kita belum menikah dan aku tugas di kota kecil dekat Yogya, aku ikut misa di gereja dan saat itu kebetulan sedang ada komuni pertama. Anak-anak itu berdoa dengan khusyuk, menyanyi dengan riang, menyambut komuni dengan tertib. Wajah mereka bersinar bahagia. Ah, sungguh syahdu. Dan, mereka tidak bergaun mewah. Hanya seragam sekolah putih-putih.”
“Oh ya? Mungkin itu kebijakan gereja agar tidak membebani ortu anak-anak itu. Memang sih, putih tak harus mewah. Putih di sini adalah lambang hati anak-anak yang bersih….”
“Dan Yesus menyambut semua anak datang kepada-Nya, bagaimanapun penampilan mereka.”
“Kamu benar.”
“Kita masih sanggup menyediakan baju yang layak buat Tya. Kamu menjahitnya sendiri, dan aku percaya jadinya nanti cantik dan serasi. Tya selalu suka memakai baju-baju buatan mamanya. Ingat waktu Natal? Menurutku dia lebih keren, ceria, pede, daripada anak-anak Lucy. Padahal Lucy, katamu, berburu gaun anak-anaknya di beberapa mal sampai capek.”
“Ah, baju Tya biasa saja, murah-meriah dengan percikan sulaman di sana-sini.”
“Itu dia. Baju itu cantik karena dibuat oleh seorang ibu berbekal cinta. Bukan oleh penjahit yang tidak tahu, siapa yang memakainya nanti.”
Ketika Randy menatap wajah istrinya, dilihatnya mendung sudah terangkat.
“Jadi jangan cemburu ya, pada Lucy?”
“Cemburu? Tadi memang kesal, tapi tidak cemburu. Dia ya dia, aku ya aku. Jalan hidup kami tidak sama. Lagipula Kak Lucy tidak punya anak seperti Tya, dan suami seperti kamu.”
Pujian tulus Aggie membuat si ‘Kamu’ tersenyum lebar. Apalagi dilihatnya, Aggie buru-buru bangkit dan kembali ke mesin jahit. Hari Minggu depan adalah hari penting buat anak semata wayang mereka….