Berkata jujur itu jauh lebih baik, ketimbang kita menutup-nutupi kebenaran alias berbohong. Jujur itu plong, tak ada ganjalan. Jujur itu jantan. Hati ini berasa enteng, dan damai.
Sebaliknya, ketika berbohong, hati ini berasa ada yang mengganjal dan terbebani. Hidup kita menjadi tidak tenang, gelisah, takut, dan bahkan tidak sedikit yang dihantui rasa penyesalan.
Jujur itu termasuk barang langka yang digerus zaman oleh berbagai faktor kepentingan. Kejujuran itu tak boleh punah, tapi harus dibudidayakan dan dilestarikan.
Bersikap jujur itu akan menjadi gaya hidup, jika dimulai sejak dini, dari keluarga kita sendiri.
Belajar bersikap jujur itu butuh keberanian agar kita hidup tanpa kepura-puraan. Kita berani mengemukakan realita yang sebenarnya, tanpa takut diintimidasi.
Ketika suami memperoleh rejeki yang nilainya besar, istri berhak untuk berani menanyakan sumbernya rejeki.
Bertanya tanpa menghakimi, tapi mengingatkan orang yang dikasihi.
Begitu pula jika istri meminta dibelikan suatu barang pada suami, jangan meneror, membebani di luar kemampuannya. Hidup itu indah, jika kita saling menyemangati dan mengasihi.
Begitu pula dengan anak-anak untuk diajari bersikap jujur, terus-terang, dan terbuka. Sehingga anak berani menyampaikan pendapat tanpa rasa takut, karena kejujuran dan kebenaran itu harus diungkap dan diperjuangkan.
Dengan membiasakan anak untuk bersikap jujur, anak berani bersikap terbuka dan terus terang dalam menyampaikan pendapat. Kejujuran dan kebenaran itu menjadi dasar pijakan anak dalam bertindak. Pribadi anak pun bertumbuh penuh percaya diri, tanpa kepura-puraan, dan tulus.
Orang jujur itu dipercaya itu bukan dari kata-katanya, tapi dari perbuatan dan karya nyatanya. (MR)