Taliban, Praktikan Hukum Zaman Nabi Tapi Pakai Aplikasi Media Sosial Masa Kini

Taliban Kuasai Afganistan2

“Musuh-musuh kami punya televisi, radio, dan akun-akun terverifikasi di media sosial, sedangkan kami tidak punya. Namun kami tetap berjuang lewat Twitter dan Facebook dan bisa mengalahkan mereka,” kata direktur media sosial IEA, adalah Qari Saeed Khosty. .

Oleh DIMAS SUPRIYANTO

SETELAH mengumumkan akan menegakkan hukum Syariah Islam, yang diyakini sesuai perintah agama dan menerapkan cara hidup era zaman Nabi, kelompok Taliban meluncurkan kampanye di media sosial. Menggunakan internet. Media komunikasi mutakhir.

Langkah awal,  mereka menyoroti kegagalan rezim di Kabul, yang berkuasa sebelumnya, dan memuji pencapaian Taliban saat ini.

Melalui Twitter, sejumlah cuitan saat itu menyebarkan kemenangan-kemenangan terkini Taliban,  sambil menyertakan beberapa tagar, seperti #kabulregimecrimes #westandwithTaliban dan #ﻧَﺼْﺮٌ_ﻣٌِﻦَ_اللهِ_ﻭَﻓَﺘْﺢٌ_ﻗَﺮِﻳﺐٌ (pertolongan dari Allah dan kemenangan sudah dekat).

Tagar-tagar pertama itu setidaknya jadi tren di Afghanistan.

Saat ini ada sekitar 8,6 juta pengguna internet di Afghanistan dan tiadanya jaringan dan layanan data yang terjangkau masih menjadi kendala utama.

Pimpinan Taliban, Hibatullah Akhundzada telah mengumumkan pemerintahan baru bernama Islamic Emirate of Afghanistan dan pemerintahan baru Afghanistan akan menerapkan syariat Islam. Beberapa pejabat yang menduduki kementrian juga telah ditunjuk.

“Saya meyakinkan kepada seluruh warga negara bahwa para tokoh pemerintahan akan bekerja keras menerapkan aturan dan syariah Islam di negara ini,” tutur Hibatullah Akhundzada mengutip AFP.

Berbeda dengan Taliban sebelumnya, yang mengharamkan internet, radio, televisi dan kamera, kini di bawah pengawasan Mujahid ada satu tim relawan yang khusus mempromosikan idelogi Taliban secara daring. 

Kepala tim itu, yang juga direktur media sosial IEA, adalah Qari Saeed Khosty.

“Musuh-musuh kami punya televisi, radio, dan akun-akun terverifikasi di media sosial, sedangkan kami tidak punya. Namun kami tetap berjuang lewat Twitter dan Facebook dan bisa mengalahkan mereka,” kata Khosty.

Kepada BBC, Khosty mengungkapkan bahwa timnya memiliki grup-grup tersendiri yang terfokus pada Twitter – yang mengupayakan tagar Taliban jadi tren – dan penyebarluasan pesan lewat WhatsApp dan Facebook.

Khosty mengatakan tim medsos IEA memberi insentif 1.000 Afghani (sekitar Rp164.000) per bulan untuk paket data kepada para anggota tim untuk “berjuang di medan perang online”.

Dia mengeklaim bahwa IEA “punya empat studio lengkap dengan perangkat multimedia yang digunakan untuk meningkatkan pencitraan lewat audio, video, dan digital” – yang menghasilkan

video-video propaganda berkualitas tinggi yang menyanjung para petempur Taliban berikut peperangan mereka atas pasukan asing di akun YouTube mereka dan laman Al-Emarah.

Kepada BBC, Khosty mengaku bahwa Taliban sulit untuk menyebarkan publikasi mereka di Facebook, sehingga terfokus ke Twitter.

Tapi cuitan pertama Mujahid langsung diblokir Twitter. Namun pada akunnya yang baru, aktif sejak 2017, memiliki lebih dari 317.000 pengikut.

AKSI GENCAR menggunakan media sosial itu menunjukkan bahwa Taliban berubah haluan, dari penolakannya atas teknologi informasi dan media modern, kini justru giat memanfaatkannya.

Sebelumnya – saat Taliban pertama kali berkuasa di Afghanistan pada 1996, mereka melarang internet dan menyita atau menghancurkan perangkat televisi, kamera, dan video.

Tapi kini mereka menyadari bahwa beberapa elemen teknologi, yang dulu mereka hindari, kini bisa membantu mereka dalam upaya membentuk opini di panggung internasional.

Sejak 2005, laman resmi Emirat Islam Taliban, ‘Al-Emarah’, diluncurkan dan kini mempublikasi kontennya dalam lima bahasa – Inggris, Arab, Pastun, Dari, dan Urdu.

“Media sosial merupakan alat yang kuat untuk mengubah persepsi publik,” kata seorang anggota tim medsos Taliban.  “Kami ingin mengubah persepsi soal Taliban,” katanya.

Kelompok itu mempublikasikan konten secara gratis di Twitter dan YouTube, namun Facebook telah mencap Taliban sebagai “organisasi berbahaya” dan secara rutin menghapus akun dan laman yang dikaitkan dengan kelompok tersebut.

Facebook mengatakan akan terus melarang konten Taliban di platformnya.

SEMENTARA ITU, Amrullah Saleh Wakil Presiden Afghanistan tersingkir,  merespon dengan memperingatkan militer dan masyarakat untuk tidak terpengaruh oleh apa yang ia sebut sebagai “klaim-klaim palsu kemenangan Taliban di media sosial”.

Dia juga meminta masyarakat untuk tidak membagikan detail operasi militer pemerintah yang bisa membahayakan keamanan.

Tugasnya adalah membawa mereka yang sudah bergabung ke Taliban karena ideologinya “ke platform media sosial sehingga mereka bisa memperkuat pesan kami”.  ***

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.