Sekelompok orang melakukan demo pendirian negara Khilafah dan Isis di Negara Kesatuan Republik Indonesiia. ( Foto: Viva)
Suatu hari, tetangga kami kedatangan tamu keluarga. Tamu ini satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan dua anak dewasa. Mereka sedang proses untuk pindah tempat namun belum menemukan tempat yang pas buat mereka. Karena faktor kemanusiaan, apalagi tempat kenalan kami itu besar, para tamu itu diijinkan tinggal.
Sehari dua hari, tak ada masalah, Setelah lebih dari seminggu, muncul masalah baru. Tamu itu mulai protes, mempertanyakan segala sesuatu yang ada di rumah. Apakah masakannya ada yang mengandung babi ? Apakah minuman di kulkas yang bisa diminum, bebas dari alkohol ? Apakah ayam goreng itu sudah melalui proses penyembelihan yang benar seperti didoakan dulu dan banyak pertanyaan lain.
Terakhir, mereka sudah mulai berani protes. Mengapa banyak patung di sekitar rumah. Patung itu sumber tempat persembunyian setan dan energi negatif dan keburuka lain, kata si bapak tamu.
Isterinya juga mulai membujuk ibu pemilik rumah agar menutup wajah dan tubuhnya seperti dirinya, serba hitam dan tertutup wajah. Jangan membiarkan paha dan dadanya menonjol membuat suaminya bergairah.
Semua pertanyaan dan protes itu sebenarnya masuk akal, jika itu dilakukan di rumah mereka sendiri. Masalahnya tamu ini salah tempat. Mereka memprotes dan tidak menyukai segala sesuatu di rumah orang lain.
Suatu ketika, pemilik rumah mengundang para tamu itu dalam sebuah makan pagi yang penuh gizi dan terdiri dari berbagai makanan. Ada 12 tempat berisi lauk yang bisa dipilih. Sebelum makan, bapak pemilik tamu meminta berdoa, sesuai keyakinan.
Usai berdoa, sang bapak mulai bicara.
“ Para tamu kami yang selama ini kami hormati. Izinkan kami sekeluarga mengucapkan terimakasih karena telah memilih rumah kami sebagai tempat transit sebelum memperoleh tempat tujuan. Tentunya para tamu tahu persis mengapa memiliki tempat ini sementara banyak tempat saudara yang lebih dekat dibanding kami”
“Namun para tamu harus menyadari bahwa ketika anda berada di rumah kami, maka sewajarnya para tamu mengikuri apa yang sudah ada di rumah ini. Termasuk tata cara kehidupan dan kebiasaan kami. Para tamu harus tahu bahwa menempatkan patung di rumah kami sudah kami lakukan sejak 40 tahun lalu sejak sebelum kami berumahtangga dan punya anak. Patung itu memberi rasa keindahan dan sentuhan seni di rumah ini. Begitu juga mengenai letak dapur, susunan kamar maupun letak tanaman dan semua barang yang ada di rumah kami. Oh ya, juga termasuk makanan yang terhidang ini. Kami menyajikan makanan sesuai selera dan menu untuk kesehatan kami. Sebagian menu kami buat untuk kesenangan tamu.“
“ Namun terus-terang, ada yang mengganggu kami saat ini ketika anda sudah mulai berani ingin mengubah kami semua. Kami tak ingin diatur-atur oleh tamu siapapun yang ingin mengubah kebiasaan kami atau aturan kami agar kami menjadi seperti anda, tamu kami yang mungkin memiliki budaya tersendiri,” ujar bapak tuan rumah itu dengan tenang.
Semua orang terdiam dan saling memandang. Ibu tamu tampak menunduk, sementara anak-anak tuan rumah, memandang para temu dengan sangat kaku.
Bapak itu kemudian melanjutkan perkataannya.
“ Jadi, sekiranya para tamu itu menginginkan segala sesuatu termasuk hidangan di atas meja ini sesuai selera anda semua, sesuai budaya anda semua, silakan makan yang anda sukai dan jika meragukan ada bahan yang tidak anda sukai, silakan makan di tempat lain. Selain itu, mungkin juga sudah saatnya jika para tamu sekalian masih ingin mengubah kebiasaan, cara dan budaya kami, silakan mengemas kopor dan keluar dari rumah ini secepatnya. Sebab tidak layak orang lain mengatur budaya, kebiasaan dan kepercayaan kami yang sudah kami syukuri dengan kehidupan kami di sini. “
Para pemilik rumah, bapak dan ibu serta anak, kemudian makan dengan lahapnya, tanpa peduli sekitar mereka. Sementara tamu itu saling memandang satu sama lainnya dengan wajah penuh kecemasan dan keklhawatiran.