TANO BATAK (1): Omak yang Kurus

Oleh NESTOR RICO TAMBUN

SUATU ketika, akhir tahun 80-an, saat pembangunan di Indonesia, sedang berkibar-kibar, kawasan Tapanuli tiba-tiba dinyatakan sebagai “Peta Kemiskinan”. Kawasan Tapanuli dinilai tak ikut beranjak maju dan banyak tertinggal.

Aneh juga. Sejak Orde Baru mulai bergerak, dibawah komando Soeharto, banyak putra Tapanuli berapa di puncak pemerintahan nasional. Dari menteri, panglima, pejabat tinggi, sampai ahli ini dan ahli itu. Masa kawasan Tapanuli tak teradopsi dalam gerak pembangunan besar itu?

Ya, kita tahulah, dalam pemerintahan Orde Baru, semua pejabat, dari pusat hingga daerah harus patuh dan menghamba pada Soeharto. Menhankam/Pangab sekelas Jenderal Maraden Panggabean pun harus bersikap seperti unggah-ungguh Jawa. Tapi, masa mereka sama sekali tidak bisa memperhatikan “bonapasogit” mereka?

Ketertinggalan ini mendorong Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar menggagas gerakan “Marsipature Hutana Be” disingkat Martabe, yang artinya “memperbaiki kampung masing-masing”. Melalui gerakan ini, Raja Inal mengajak putra-putri Tapanuli yang sudah sukses di rantau ikut membangun, berbuat sesuatu untuk kampung halaman masing-masing.


Dengan bantuan dana dari pemerintah pusat, Pemda Sumatera Utara juga membuat program khusus pembangunan hingga ke desa-desa. Berbagai infrastruktur, seperti sarana jalan, pengairan, pendidikan, dan sebagainya mengalami perbaikan. Putra-putri Tapanuli, secara perorangan maupun kelompok cukup banyak yang memenuhi panggilan itu.

Ketika itu saya sudah menjadi wartawan di Majalah SARINAH. Saya memang sudah belasan tahun meninggalkan Sumatera Utara. Tapi saya seperti tidak percaya kawasan Tapanuli semiskin itu. Karena putra-putri Tapanuli ada dimana-mana di negeri ini. Mereka umumnya berpendidikan dan ada di segala profesi, baik di pemerintahan maupun swasta. Semua orang, bahkan dari suku-suku lain, tahu itu.

Amat beruntung, pimpinan saya memberi ijin saya berkeliling Sumatera Utara, meliput berbagai hal dan objek yang menarik ditulis untuk majalah wanita/keluarga seperti SARINAH. Saya berkeliling dari Medan, hingga ke Karo, Simalungun, Toba, Sipirok, Sibolga, hingga ke Barus.

Saya melihat hasil Martabe itu. Saya melihat di Bungabondar, Sipirok, jalan kecil hingga ke kampung- kampung diaspal hotmix. Saya menulis Sipirok sebagai daerah berpanorama indah yang kerukunan beragamanya sangat bagus. Hei, jangan lupa, sebelum ke Silindung dan Toba, Nommensen mengawali kerja misinya di Bungabondar.

Tapi, benarkah kawasan Tapanuli miskin? Dari panorama kasat mata, benar. Tidak ada perubahan pembangunan fisik yang menonjol seperti di Pulau Jawa. Rumah-rumah tampak kusam dan tua, dengan atap-atap seng berkarat. Penduduk pada sibuk bekerja di sawah atau kebun. Penampilan mereka tampak lusuh dan sederhana. Tapi sawah-sawah dan kebun-kebun itu tampak subur. Hei, ini kemiskinan yang berbeda dari di Jawa.

Saya pernah meliput dan menginap di satu kampung miskin di derah kering Gunung Kidul. Benar-benar miskin. Pohon singkong hanya tumbuh setinggi dengkul. Umbinya hanya segede-gede jari. Banyak penduduk yang masih buta huruf (Di Tapanuli kayaknya sudah nggak ada, deh. Bapak saya almarhum kelahiran tahun 1910 aja sudah lulus SR). Mau tahu gambaran lain kemiskinan itu?

Pagi-pagi saya jajan, sarapan di sebuah warung sederhana. Minum kopi (kopi jagung), makan jajanan getuk, dan yang sejenis. Totalnya nggak sampai tiga ribu rupiah. Saya kasih lembaran 20 ribuan. Saya disuruh tunggu kembalian. Tapi, kok lama sekali? Rupanya yang punya warung harus mengumpulkan, meminjam uang dulu dari tetangga-tetangganya untuk kembalian. Ampun. Mestinya saya tinggal aja.

Tapanuli bukan miskin yang benar miskin seperti itu. Apalagi dibandingkan daerah Karo. Truk ramai mundar-mandir mengangkut sayuran dan buahan yang akan dikirim ke Medan dan diekspor ke Malaysia dan Singapura. Jadi, kenapa kawasan Tapanuli jadi “peta kemiskinan”?

Sebagai orang yang berasal dari Tano Batak, dengan pengalaman merantau ke Medan dan Jakarta, serta kacamata jurnalis, saya mudah menemukan jawabannya. Tapanuli tidak miskin. Tapanuli itu subur dan kaya. Penduduknya rajin kerja, banting tulang dari pagi hingga gelap. Kalau rumah-rumah mereka tampak kumuh, makan dan pakaian mereka seadanya, itu karena mereka harus mengirim uang biaya anak-anak mereka yang sekolah di kota. Di Siantar, di Medan, di Jakarta, Bandung, Yogya, hingga Surabaya. Dari sekolah lanjutan atas, hingga perguruan tinggi.

Orang-orang Batak, penduduk Tapanuli, sudah mengenal pendidikan sejak lama. Mereka sudah sadar benar, cara mengubah kehidupan dan memperoleh kehormatan adalah pendidikan. Anakhonhi do hamoraon di au. Anakku itulah kekayaan bagiku. Mereka rela menderita seperti apapun, asal anaknya sekolah dan maju.

Foto penulis di Nagasaribu, Sipahutar

Bayangkanlah, saat itu jarang orang yang punya anak 2 atau 3. Kalau nggak 5, 7, bahkan ada yang 9 sampai 11 orang. Kalau semua sekolah, berapa banyak yang harus mereka bayar. Berapalah perbandingan hasil pertanian, dibanding biaya sekolah dan biaya hidup di kota?

Itulah yang saya tulis dalam laporan saya, dengan gaya ringan khas penulisan feature untuk majalah keluarga. Kalau kawasan Tapanuli itu terlihat miskin, itu karena hasilnya lari ke kota. Tak terhitung besarnya uang yang tiap bulan dikirim ke kota-kota untuk biaya sekolah anak-anak.

Jadi, kalau kawasan Tapanuli tampak miskin, tampak kumuh, orang-orang berpenampilan seadanya, dan kehidupan mereka sehari-hari terlihat “parir” (getir), itu demi anak-anak. Tapanuli ibarat seorang omak yang kurus kering, karena menyusui dan memberi makan banyak anaknya. Begitu.

Tapi, anak-anak yang sekolah itu kan umumnya sukses di kota-kota rantau? Apakah mereka tidak terpikir “membayar hutang” ke orangtua dan kampungnya?

Tidak. Kalau mereka sudah bekerja, mereka diharap nanti menarik dan membantu adik-adiknya, yang saat di kampung juga ikut bekerja keras dan hidup getir. Itu yang terpenting.

Beberapa teman wartawan dan intelektual di Sumut yang saya temui bilang, kalaupun sudah pada sukses, umumnya orang Batak membangun kejayaan di rantau. Paling sesekali pulang, untuk menunjukkan kesuksesan. Membuat pesta tambak atau tugu, atau pesta lain yang menyangkut keluarga dan membuat orangtuanya bangga. Sesudah itu mereka kembali ke kota, dan membiarkan kampung kembali sunyi.

“Orang-orang tua di kampung sudah cukup bangga dengan begitu. Yang penting bagi mereka anak-anak dan cucunya sukses di rantau. Sesekali mereka ikut ke kota, dan kemudian menceritakan kesuksesan anaknya. Itu sudah cukup,” kata seorang teman, wartawan sebuah koran nasional terbitan Jakarta.

“Orangtua Batak umumnya tidak mengharap balasan material dari anak-anak,” kata seorang kenalan dosen di Medan. “Lihat aja, kalau cucunya lahir di kota, mereka datang bawa beras, bawa ulos, membelikan cincin, atau gelang mas untuk cucunya.”

Ya, benar juga. Jadi, tepatlah kalau Raja Inal mencanangkan gerakan Martabe. Gerakan itu sempat menunjukkan hasil. Sempat terlihat ada perubahan-perubahan dan kemajuan di sana sini. Tapi, seiring dengan berlalunya masa jabatan Raja Inal, gerakan Martabe memudar. Bahkan, hal-hal yang sudah sempat membaik kemudian kembali mengalami kemunduran.

Terus, bagaimana sekarang? Apakah kawasan Tapanuli, Tano Batak, masih tetap seperti omak yang kurus?

Foto: Di Nagasaribu, Sipahutar.

Avatar photo

About Nestor Rico Tambun

Jurnalis, Penulis, LSM Edukasi Dasar. Karya : Remaja Remaja, Remaja Mandiri, Si Doel Anak Sekolahan, Longa Tinggal di Toba