Penulis: Jlitheng
Siang menjelang sore, kemarin, ketika kubuka gerbang untuk anakku yang akan pergi bukber, angin kencang mengibas-ngibaskan daun-daun pisang yang tumbuh di kebun kosong depan rumah kami.
Klebet daun dan desiran angin menambah sepi lingkungan kami, ditinggal warganya mudik.
Walaupun kita tak setiap hari saling berjumpa, kepergian seseorang yang kita kenal memang berasa.
Ada yang memberi kabar, “Kami sudah sampai, Pak,” sambil menunjukkan foto makam suaminya yang dipanggil Tuhan beberapa tahun yang silam.
Momen berkunjung dan memelihara makam orang tercinta pasti menjadi salah satu alasan seseorang mudik. Ada rasa rindu yang kuat bercampur sepi dan mungkin juga sedih, beradu menyatu dengan angin desa yang membuat teduh.
Berjumpa saudara dengan kejutan-kejutan lain, seperti jumpa kawan lama plus sapaan-sapaan penuh canda: “Kowe kok soyo ayu“, atau “Rupamu kok tetep enom“, dan “Saiki piro anakmu?“, akan menjadi warna-warni penyedap indahnya mudik.
Dari beberapa masjid sekitar berkumandang berita gembira untuk mereka yang duafa, untuk tidak lupa mengambil zakat. Seiring dengan itu ada ingatan bagi mereka yang masih berkeinginan berbagi zakat.
Motif sama, menjalankan perintah Allah “Apa yang kamu lakukan kepada mereka yang kecil dan kurang berdaya itu, kamu lakukan untuk-Ku.”
Hadir, membawa berita baik dan saling berbagi kebaikan adalah nilai-nilai lestari yang akan mewarnai mudik.
Tapi, saya tidak mudik. Nilai nostalgik mudik saya tuangkan dalam tulisan ini.
Bagi teman-teman yang bisa mudik, nikmatilah. Sekadar info, suasana sepi sangat terasa, ketika banyak orang pergi. Klebetan daun-daun pisang itu menegaskan betapa pentingnya kehadiran.
Salam sehat dan tetap berbagi cahaya.
