TANPA TEMA? MANA MUNGKIN?

MENULIS ITU ASYIK (22): TEMA

Oleh BELINDA GUNAWAN

“Apa yang tersimpan di benak pembaca setelah ia selesai membaca cerita kita, itulah tema.”  Begitu kata contekanku tentang tema. Sekilas kelihatan sederhana, tapi … oh, gimana kalau nanti tidak ada yang tersimpan di benak pembaca, padahal aku sudah susah payah menulis cerita itu?  

Don’t worry, be happy. Jangan jadikan beban pikiran. Yang penting sesudah punya empat elemen lainnya  yaitu karakter, plot, setting, sudut pandang, mulai saja menulis. Misalnya nih:

Karakter:  Dua orang. Seorang ibu (Ellen) yang sudah ada di “alam sana”, dan Wina, putrinya.

Plot: Dengan naluri keibuannya Ellen tahu, Wina sedang mengalami krisis rumah tangga, dan ia merasa perlu membantunya menentukan langkah. Apalagi  masalah yang dihadapi Wina mirip dengan masalahnya.  Ellen dulu mengambil langkah yang disesalinya. Maka ia pun “datang” menghampiri Wina dan mencoba berbagi, berargumentasi dengan anaknya, agar Wina  tidak gegabah mengambil tindakan. (Plot ini berakhir dengan happy ending.)

Setting: Rumah Wina, dari dapur hingga kamar tidur di lantai dua.

Sudut pandang: Kisah ini diceritakan dari  sudut pandang Ellen, memakai POV “aku”.  

Empat elemen ini sudah merupakan bekal yang cukup untuk menulis cerpen, tentunya ditambah dengan elaborasi dan detail-detail lain di sana-sini.

Lantas, temanya apa?  Bukankah katanya  cerpen yang baik mengandung setidaknya 5 elemen?

Sebentar, kita bicara dulu tentang tema.  Tema adalah ide sentral sebuah cerita,  sebuah pokok pikiran  atau pesan yang ingin disampaikan. Sering orang menyebut atau mengira bahwa tema ceritanya adalah cinta, kematian, pengkhianatan. Satu kata ini sesungguhnya baru berupa topik, sedangkan tema lebih melebar dan mendalam dari itu. Misalnya: Cinta mengatasi segala rintangan; kematian bukan akhir segalanya; pengkhianatan kecil menghasilkan penyesalan besar.

Tema  bisa saja  menyampaikan lebih dari satu pesan. Seringkali  tema berupa  “paket-paket kecil” yang memperlihatkan kepada pembaca akibat dari suatu perilaku tertentu. Secara sederhana tema bisa dikatakan sebagai moral of the story (MOS), pelajaran yang dipetik pembaca dari sebuah cerita. Seolah mengatakan, “Jangan begini, jangan begitu; sebaiknya begini atau begitu.”

Penulis menyampaikan tema dengan cara meletakkan karakter-karakternya  dalam situasi “konflik”. Apa yang terjadi  setelah situasi itu reda mengindikasikan apa yang menjadi pesannya  kepada pembaca, apa yang menjadi tema ceritanya.  

Tema yang sering digunakan orang, misalnya:

  • Kenyataan seringkali berbeda dengan apa yang tampak di permukaan
  • Agar sukses percayalah pada dirimu sendiri, pada apa yang dikatakan nuranimu.
  • Orang  yang berusia lanjut alergi pada perubahan
  • Don’t judge a book by its cover
  • Pasangan yang berbeda latar belakang buntut-buntutnya akan berpisah

Kembali ke cerita tentang Ellen dan Wina.  Jadi, temanya apa? Bisa disimpulkan beberapa:

  1. Cinta ibu pada anaknya melintasi waktu dan tempat
  2. Pengalaman masa lalu seorang ibu bisa menjadi “pelajaran” bagi anaknya
  3. Segala persoalan sebaiknya disikapi dengan lebih bijak, ketimbang menuruti kata hati.

Nah… akhirnya aku sampai pada “teori”, bahwa tema belum tentu harus ada sejak awal.  Kita bisa mengembangkan tema hanya dengan menulis cerita kita dan membiarkan tema menyembul sendiri sementara kita menulis narasinya. Daripada memaksa diri menentukan tema sebelum menulis, lebih baik tancap gas saja.

Tapi tentu bisa dan baik, bila terjadi yang sebaliknya. Kita memiliki tema di kepala, mempunyai pesan yang mantap, lalu berbekal itu menulis  kisah kita sesuai plot yang juga sudah terbayang-bayang di dalam imajinasi. Mau jadi cerpen, novelet, buku, hayuuuu….

Avatar photo

About Belinda Gunawan

Editor & Penulis Dwibahasa. Karya terbaru : buku anak dwibahasa Sahabat Selamanya.