Teguh

Beberes laci meja (lagi), ketemu gambar berusia hampir 30th lalu.

Teman-teman dekat memanggilnya Steve. Karena nama pemberian orangtuanya memang Steve. Liem itu mungkin nama marga.
Tapi aku memanggilnya Pak Teguh.

Sebagai sutradara film Indonesia, lelaki ini memang tak ada duanya, terutama untuk film-film drama. Secara bergurau kami suka menggodanya sebagai “Francis Ford Copola”.

Biasanya dia hanya ngedumel: “Ah,…ada-ada aja luuh”

Ketika aku sedang bekerja di sebuah tabloid hiburan, jika tak ada kerjaan yang mendesak atau deadline, kami kerap menyambangi sanggarnya di Kebon Pala-Tanah Abang. Sanggarnya asyik. Asri luas, adem dan ‘agak serem’ karena bangunan kuno.

Di sanggar itu dia biasa menerima tamu. Rumah pribadinya berada diseberang tak jauh dari sanggar. Dia hampir tak pernah menerima tamu di rumah pribadinya, hanya di sanggar.

Kami beruntung beberapa kali ‘diterima’ di rumah pribadinya yang juga asri, adem dan ‘agak serem’ karena juga bangunan kuno.

Di sanggar, tinggal beberapa orang anggota ‘pekerja’ film. Mulai aktor, sampai penata dekor.

Mendiang Alex Komang aku kenal, jauh sebelum dia magang atau nyantri di sanggar itu.

Kami kerap mengobrol tentang apa saja. Tapi kebanyakan sih kami sebagai pendengar saja. Rugi rasanya jika berhadapan dgn orang yang punya banyak kehebatan dan pengalaman kami juga ikut ngoceh.

Alex sesekali nimbrung sambil bergurau: “Aah, paling-paling cerita tentang kehebatan masa muda yang kemaren-kemaren juga.

Jika malam tiba, biasanya akan datang seorang ibu atau anak gadis tetangga sekitar sanggar membawakan katering rantangan.

Rantang itu adalah rantang besar enamel bersusun tiga. Isinya nasi dan lauk pauk. Makanan tradisional, seperti tumis kangkung, tumis toge-tahu, atau tumis sawi ijo yang ‘ditingkah’ dgn udang kering. Tahu, tempe goreng dan sambal tentu tak pernah ketinggalan. Dan,…eits jangan lupa: teri kacang.

Jika kami menolak tawaran nimbrung makan, biasanya dia terap berusaha ‘menahan’ kami supaya bisa menemaninya ngobrol sampai larut malam.

Tawaran yang susah kami tolak adalah…kopi. Biasanya dia akan memamerkan dan menyorongkan harum aroma kopi kiriman dari berbagai pelosok Indonesia ke hidung kami,…hmmm.

“Eh,…lu jangan pada pulang dulu ya. Sebentar gue bikinin kopi. Gue baru dapet kiriman kopi dari Toraja, Sidikalang atau Lamalera”
Maka dia pun akan menyeduh kopi buat kami, menyeduh dengan tangannya sendiri.

Pak Teguh,…aku yakin anda baik-baik saja di sana’
Eh,…lagi bikin film atau bikin kopi?

(Aries Tanjung)