TEGUH ESHA, KERA NANGULUB

Oleh Heryus Saputro Samhudi

Jurnalis senior, menulis esai, sajak dan cerpen sejak 1975. Bekerja di berbagai media, terakhir di Femina Grup.

SENIMAN teater, penyair dan cerpenis Ags Arya Dipayana (50th), wafat 1 Maret 2011. Sebulan sebelumnya, Aji (begitu dia dipanggil) saya temukan selepas Isya di ‘meja kecil’ dekat kolam samping Ruang C Gelangang Bulungan, sedang diwawancara dua wanita belia berkerudung, ditemani Yitno, Alex Komang (wafat 13 Februari 2015 di usia 53th), dan Bang Teguh yang langsung mingser mbari mesem-masem saat saya tiba. 

Rupanya kedua tamu –  seorang diantaranya diperkenalkan sebagai jurnalis –  datang bareng Bang Teguh, untuk tanya-tanya soal Gelanggang Bulungan, untuk  bahan publikasi di sebuah penerbitan (atau radio, saya lupa) di Brunei Darussalam. Kebetulan saya datang, Aji & Alex langsung menyarankan kepada para tamu untuk juga mewawancarai saya, sebagai orang yang ‘lebih lama’ di Bulungan, ha…ha…ha…! 

Di bawah tatapan Bang Teguh yang duduk agak jauh mbari mesem, saya jawab ragam pertanyaan (direkam tape-recorder) apa adanya, termasuk bahwa saat saya ‘masuk’ tahun 1974, sudah banyak seniman Bulungan yang beken namanya: Adri Darmadji Woko, B. Priono Sudiono. Yudhistira ANM Masardi dan Noorca N. Massardi yang (sebelum sempat saya kenal) terbang “Mengejar Cinta”nya ke Paris di tahun 1976.

Ada Renny Djajoesman (masih SMP) yang bermain bagus (bersama aktor Mamok Pratomo) dalam drama Kereta Kencana saduran WS Rendra dengan sutradara A.P. Burhan – Teater Bulungan. Ada seniman gambar Dimas Pras dan Noor Hasyim Yubari.  Juga saya dengar nama Dharnoto dan Tjok Hendro dari Lisendra (Lingkaran Seni Drama) Buana – grup teater di bawah payung koran Berita Buana. Dan banyak lagi.

Mendadak Bang Teguh balik mendekat seraya ikut menyodorkan tape-recorder ke dekat wajah saya sembari nyeletuk: “Siokap Kera Nangulub awal nyang ente kenal? Sebut urut lima nama, ”  tanyanya serius, membuat kedua jidat tamu berkrenyit bingung, tak faham omongan Bang Teguh yang menggunakan Bahasa Prokem gaya Kera Ngalam (Arek Malang). Siokap (siapa), Kera Nangulub = Arek (anak muda) Bulungan.

Karena masih terkait topik wawancara, maka saya jawab apa yang ditanya Bang Teguh. Saya sebut urut lima nama Kera Nangulub pertama yang saya kenal, dan percaya ngga percaya… kelima nama ini justru saya kenal jauh sebelum saya aktif di Gelanggang Bulungan, bahkan ada yang sudah saya kenal sebelum Gelanggang Remaja Jakarta Selatan di Jln Bulungan 1C ini berdiri, hihihi…!

Tentu saja Bang Teguh menempati posisi pertama, yang seperti sudah para sedulur tahu, saya mengenal dia tahun 1969 di Kobakan Air Barito yang kini tampil cantik sebagai Taman Ayodia. Kera Nangulub kedua yang saya kenal adalah almarhum Tino Saroenggalo, Anak Betawi (karena seperti Bang Teguh, sejak saya kenal dia selalu bicara dengan gaya Bahasa Betawi Tengahan) yang ibunya (dokter) berdarah Belanda dan ayahnya bangsawan Tana Toraja di Utara Sulawesi Selatan; Tino masih piyik, masih bercelana pendek saat saya mengenalnya, sering datang bersepeda ke Pasar Majestik, untuk sewa-baca buku cersil karya Kho Ping Ho yang baru terbit. Bang Teguh yang juga penggemar cersil Kho Ping Ho, sering amprok dengan Tino di lapak komik abang saya (almarhum Hendarto Samhudi) yang tiap sore digelar di antara emperan Toko Radio Ong dan Indah Photo di Pasar Majestik.

Sama mojok membaca cersil baru yang disewakan (Bang Teguh sih gratis, atas tanggungjawab saya, hihihi…!) keduanya pernah terlibat ‘diskusi’ seru ihwal Bu Kek Siansu – tokoh sakti-arif-bijak yang hidupnya mirip ‘dewa penolong’ dalam kisah cersil karangan Kho Ping Ho. Keduanya tampak ‘klop’, ngomong cara Betawi yang diimbuhi cara ngomong orang Inggris. 

Belakangan saya tahu bahwa selain ngomong cara Londo (Belanda), Tino juga berbahasa Jerman, Perancis. Saat saya masuk Bulungan, Tino justru sibuk kuliah hingga lulus dari Jurusan Sastra China FS-UI (kini FIB-UI) yang menjadikannya ‘cas-cis-cus’ ngomong Cokin (begitu istilah bang Teguh) dengan Mpek peramu obat di Glodok. Ini kah efek dari hobi Tino baca cersil karya Kho Ping Ho?

Di Pasar Majestic pula saya kenal Wiwien –  yang lemudian menikah dengan Muchlis  Sarjana, seniman grafis dan anggota Sanggar Lukis Garajas – Bulungan,  saat dia masih TK barangkali, sering digonceng Ibunya naik Vespa ex Congo (#. Tentara Indonesia di tahun 1963 pernah dikirim ke Congo Afrika sebagai bagian dari penjaga perdamaian PBB, dan usai tugas banyak tantara pulang ke Indonesia membawa oleh-oleh Vespa. 

Ibunya Wiwien pengusaha catering dan penyewaan alat masak-memasak di Pasar Santa. Nyaris tiap minggu belanja sayur-mayur ke Majestik, dan titip Vespa di lapak parkir yang masuk pengawasan saya, sekaligus ‘titip’ Wiwin yang hobi pake bakiak. Pernah sekali waktu Ibunya Wiwien datang nunggang Harley Davidson, bikin kagum banyak orang, juga Bang Teguh yang mampir untuk satu keperluan dengan saya. 

Siapa mengira tahun 1976 saya kembali ketemu Wiwien (saat itu kelas 2 SMP, ya De Wien?) saat sama menjadi anggota Teater Bulungan. Di Bulungan pula Wiwien ketemu jodoh, Muchlis Sarjana, seniman grafis dan anggota Sanggar Lukis Garajas. Anak Bulungan yang juga saya kenal pra-Bulungan adalah Mas Adri, yang seperti sudah saya ungkap adalah senior saya di Remaja Yudha Club. 

Ada sebetulnya Kera Nangulub yang saya kenal sebelum kenal Mas Adri, yakni almarhum Mas Harry Suwandito, abangnya Bens Leo. Ingat juru foto temannya Bang Teguh saat kami nonton balap sepedamotor di sirkuit Pangkalanjati? Itulah Mas Harry. Tapi saya baru ngeh kalau dia bernama Harry (nama yang bersama Uki dan ‘Dudung’ disebut sebagai sohibnya Ali Topan) tahun 1974 saat saya sudah di Remaja Yudha. 

Di Kobakan Air Barito tempat Bang Teguh mangkal pula saya kenal lebih lanjut dengan Mas Harry, yang (jauh berbeda dengan Bang Teguh) sangat pendiam. Tak banyak bicara, tak ngomong bila tak ditanya. Tapi sebagaimana Bang Teguh, Mas Harry juga amat respek pada ‘nasib’ saya sebagai Anak Jalanan. Mas Harry pula yang kasih tahu bahwa tak jauh dari tempat Bang Teguh mangkal, ada Gelanggang Bulungan.

“Dek Heryus bisa ikut aktif di kegiatan semi atau olahraga yang ada di situ. Ada juga kursus-kursus gratis, buat remaja,” kata Mas Harry, kalem, sementara Bang Teguh kasih unjuk jempol sambil mesem ke arah saya, dan nyeletuk: “Masih punya jisokam, Cil…? Kagak enak kite ngupi kalo nggak ngebul…!” Ruangan pun dipenuhi hembusan asap putih berbentuk huruf “O”. ***

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.