Seide.id – Setiap kali saya menghadiri tuguran mendoakan arwah orang yang esok harinya dimakamkan, saya selalu sedih dan merasa sendiri.
Bagaimana tidak merasa sedih dan nelongso, karena sedikit sekali yang hadir menemani, bahkan sering kali, setelah sembayang umat langsung pulang, alias tinggal keluarga dan famili yang meninggal itu.
Maaf, itulah protret sesungguhnya. Realita itu banyak dijumpai dalam komunitas, khususnya di kota besar. Mesin kesibukan mengikis rasa peduli, empati, dan kekompakan hingga nyaris hilang.
Coba bayangkan dan renungkan, seandainya hal itu terjadi pada keluarga kita.
Padahal dengan ikut aktif terlibat tuguran itu kita diajak untuk berbela rasa, merasakan kesedihan mereka yang ditinggalkan oleh orang tercinta, terkasih, atau belahan jiwa.
Dengan hadir, menghadiri prosesi sembayang itu, kita ikut merasakan kedukaan mereka. Kita menghibur dan menguatkan hati mereka yang ditinggalkan itu agar mereka jadi sabar dan tabah.
Dengan ikut serta tuguran berarti kita mempunyai rasa peduli dan empati pada orang yang meninggal itu dan keluarganya.
Dengan berdoa sepanjang malam itu kita memohon agar arwah tetangga, sahabat, saudara, atau keluarga kita itu diampuni dosanya dan dilapangkan jalannya untuk menghadap pada Allah Sang Pencipta.
Sesungguhnya, ikut tuguran itu kita diajak untuk berjaga-jaga dalam doa. Sekaligus kita menyiapkan diri untuk hidup makin baik, karena kita juga nantinya meninggal.
Berduka itu seperlunya, tapi jangan biarkan berlarut-larut, sehingga merampas kebahagiaan dan masa depan kita.
Tuguran itu sesungguhnya sarana refleksi agar kita berani menangisi dosa-dosa kita untuk perbaiki diri dan berubah untuk menuju hidup yang makin baik, dan berkenan bagi Allah.
Teruslah “eling lan waspada” untuk hidup bahagia.
…
Mas Redjo/Red-Joss
Seharusnya Kita Bersyukur, Tidak Membuat Orang Lain Tersungkur