Haji Rosihan Anwar genap seratus tahun pada 10 Mei 2022 ini. Empu Jurnalis, Begawan Pers itu guru saya di bidang penulisan dan dunia media. Jurnalis yang bersahaja, intens dan terus menulis hingga akhir hayatnya.
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
SUNGGUH beruntung saya pernah bersama beliau, meski beberapa saat saja. Kami seperjalanan ketika ke Hawaii dan Los Angeles di tahun 1991. Bersama sama jurnalis senior, H. Ilham Bintang dan Dr. H. Salim Said. Banyak yang saya pelajari dari beliau, secara langsung.
Apa yang layak diteladani dari Pak Ros – nama populer Pak Rosihan? Tentu saja staminanya dalam berkarya. Hingga usia 80 tahun beliau terus menulis, meski tak punya media sendiri. Setia denga mesin ketik tuanya meski era komputer telah datang.
Beliau menulis sejak remaja, dan menjadi wartawan bahkan sebelum republik Indonesia lahir, dan terus bergelut di dunia pers hingga akhir hayatnya.
Pendiri dan Pemimpin Redaksi Harian Pedoman itu menjadilan menulis sebagai panggilan hidupnya. Duduk di depan mesin ketik dan menuangkan gagasan menjadi panggilan tugasnya.
Saya melaksanakan itu, hingga kini.
Pensiun sejak Mei 2020 lalu, tak membuat saya berhenti menulis. Hatta cuma di Fesbuk, saya terus menulis, dengan disiplin maksimal sebagaimana menulis di media mainstream. Sebatas saya bisa.
Teladan lain dari Pak Cian – juga nama panggilan H. Rosihan Anwar – adalah kesederhanaan. Pak Rosihan jauh dari gambaran wartawan sukses yang sebagaimana jurnalis masa kini yang jadi komisaris BUMN lalu tampil bermegah megah diri.
Perawakan kurusnya juga tak mendukung untuk membusungkan dada. Caranya dia menyombong, sesekali, adalah lewat celetukannya yang menohok lawan bicara. Dalam nada serius maupun canda.
Pak Rosihan piawai dalam mengungkapkan dark joke. Sindiran dan kritikan. Dalam satu acara malam puncak FFI beliau hadir di bangku VIP. Saat Menteri Penerangan RI tampil ke panggung hendak pidato – sosok menteri yang tak disukainya – dan para wartawan mendekati panggung untuk memotret, dengan atraktif Pak Ros sengaja membidik memotret kaki dan sepatunya sendiri dengan kamera pocket. Bukan memotret Menteri.
“Mendingan juga motret kaki, ketimbang motret menteri, ” begitu konon gerundelannya.
Pernah saya tampil pakai jas dan dasi di depannya, di gedung Dewan Film Menteng, markas Panitia Tetap (Pantap) FFI. Dan apa komentarnya? “Muka petani pakai dasi! “
Semua orang tertawa dan saya malu juga. Tapi karena Pak Ros yang mengungkapkan saya manggut manggut saja. Saya sama sekali tidak tersinggung.
Setelah bercermin, komentar Pak Ros ada benarnya juga. Akh, muka petani! Ha..ha..ha..
Saya pernah dengar ada redaktur yang memotong tulisannya, dan dia marah besar. Sejak itu dia tak menyebut nama redaktur sebagai editor. “Dia tukang daging, seenaknya main potong tulisan orang! ” Lagi lagi yang dengar ketawa ngakak. Padahal Pak Ros pasang wajah kenceng. Zonder senyum.
Pak Ros tak pernah menyombongkan kewartawanannya. Tapi sesekali dia menyombongkan keaktorannya. Dia main film sejak 1950-an Darah dan Doa diarahkan sohibnya, Usmar Ismail. Dan terakhir nampak aktingnya yang keren di film Tjoet Nyak Dhien (1989) garapan Eros Djarot. Dalam arahan sutradara hebat, keaktoran Rosihan Anwar juga hebat.
BAIK di Honolulu maupun di Los Angeles, saya tinggal sekamar dengan Haji Wa’ang – nama tokoh dalam penulisan kolom kolom H. Rosihan Anwar. Kamar mahasiswa dan apartemen yang disewa H. Ilham Bintang untuk kami, cukup besar, dilengkapi ruang tamu dengan sofa panjang.
“Kamu itu un-organized ! ” semprot Pak Rosihan, mengomeli saya setelah bangun pagi. Sungguh benar, saya kacau sekali. Naruh sepatu sembarangan, kaos kaki kiri kanan, tak jelas di mana, dan tidurnya berisik.
Akibatnya, daripada mengganggu, saya pindah ke sofa – tahu diri saja. Untungnya sofanya panjang dan besar. Serasa di kasur juga.
Mengenyam pendidikan sekolah Belanda, selain sekolah jurnalistik di New York – Pak Ros sangat tertib dan organized. Kata orang Jawa, “temoto”. Kamar mandi yang kami tempati selalu bersih. Jam, sikat gigi, gelas isi gigi palsu berjajar rapi. Bikin sungkan saya yang biasa berantakan.
Kata Matt Bento alias Herman Wijaya, sohib kami sesama jurnalis di Geng Dewan Film – Menteng, Jakarta, Pak Ros tak melupakan orang yang dekat dengannya. Dia mendapat hadiah mesin ketik, kenangan tak terlupakan. “Jadi barang keramat buat saya! ” katanya.
Sedangkan saya, nama saya disebut dalam laporannya sepulang dari Los Angeles. Saya sangat bangga dan terharu.
Pak Ros, salam takziem untuk Bapak. Semoga damai di alam keabadian. Amin. ***
PS:
H. Rosihan Anwar lahir 10 Mei 1922 di Kubang Nan Dua, Sumatera Barat. Menjadi reporter sejak 1943 di koran ‘Asia Raya’, bersama Herawaty Diah mendirikan koran ‘Merdeka’ dan PWI (1946), Pemred majalah ‘Siasat’ (1947-1967) dan koran ‘Pedoman’ (1968-1974), kolumnis di berbagai media internasional. Beliau juga pendiri Perfini. Mendapatkan penghargaan Mahaputra dan dimakamkan di TMP Kalibata, 14 April 2011 lalu.