(Foto: WK)
Sering kali orangtua, atau kita sendiri mengeluh melihat perilaku anak yang susah diatur, suka membantah, bahkan terkadang berani melawan orangtua.
Ibarat Bumi dan langit, begitulah perbandingan pendidikan anak zaman dulu dan zaman sekarang, jauh berbeda.
Dulu, ketika tengah makan bersama, sendok kita beradu dengan piring, orangtua mencari sumber suara. Kita yang melakukan itu diam dan merasa bersalah.
Dipelototi oleh orangtua, kita hanya menunduk seakan diadili. Orangtua marah, kita tidak mempunyai nyali untuk membantah, berkilah, apalagi untuk membela diri.
Sebagai anak, kita diajak untuk berani belajar peka untuk memahami, membaca tanda, isyarat, atau sasmita dari orangtua agar kita menjadi pribadi yang rendah hati, penurut, dan mandiri.
Begitu pula dengan pendidikan di sekolah. Bagi kita, guru mempunyai arti digugu lan ditiru. Dipercaya dan diikuti. Guru itu kudu dicontoh dan diteladani.
Orangtua dan guru mempunyai peran yang sangat penting untuk mendidik dan mengantar kita menuju gerbang masa depan yang gemilang.
Berbeda dengan zaman sekarang. Sistem digitalisasi membuat perubahan berkembang dengan amat pesat. Dari bekerja, belajar, belanja, dan beribadah pun dilakukan secara online.
Sebagai orangtua, kita sering termehek-mehek jika kita tidak mau belajar dan menyikapinya dengan bijak agar tidak digerus arus perubahan itu.
Coba lihat anak yang berani menggugat orangtua gara-gara warisan.
Guru tidak lagi digugu lan ditiru, karena tindakan asusila terhadap anak didik sendiri, sehingga lupa akan anak sendiri.
Anggota “tuan yang terhormat” dengan sewenang-wenang mengusir tamu yang diundangnya sendiri.
Anak didik berani menuntut gurunya, karena dijewer telinganya. Dan, banyak contoh lainnya.
Berjuta orang pengin ben diarani dengan berlagak sok hebat, kuasa, kaya, wibawa, dan sok pintar. Itu membuat mereka keblinger.
Mereka membuat aturan, peraturan, atau perundangan, tapi untuk mereka langgar sendiri.
Mereka ingin dihormati, tapi tidak mau menghargai orang lain.
Mereka memiliki berjuta ambisi, tapi tidak mampu memberi teladan yang baik. Mereka lebih bangga pamer arogansi dan kepongahan.
Jangan kaget, heran, takjub, apalagi gamangan, jika kita melihat perubahan zaman yang acakadut. Kita adalah pelaku perubahan zaman yang biasa mempertontonkan kebodohan sendiri.
Sekiranya kita tidak mau dianggap bodoh, sombong, brengsek, atau hal negatif lainnya, ya kita belajar berubah untuk tidak melakukannya.
Tidak ada kata terlambat atau sulit. Hidup itu perubahan yang kudu dimulai dari diri sendiri, karena kita adalah agen perubahan untuk keluarga dan sesama.
Kita adalah pelaku, sekaligus contoh kebaikan. Kita tidak mungkin melarang anak, jangan begini dan begitu, tapi kita melanggarnya sendiri.
Aturan, peraturan, dan perundangan itu menjadi sakti, jika kita semua mentaati.
Hidup kita adalah cerminan dan teladan masa depan bagi generasi mendatang. Teladan itu dari hati, sumber kasih Ilahi.
Tuhan memberkati.