Menemukan tema dari sebuah tulisan fiksi maupun non fiksi bisa dilakukan di mana saja, kekuatan terbesar untuk mengembangkan sebuah tema terletak di daya imajinasi yang bersumber dari otak, tentunya ada atribut lainnya, yaitu daya nalar dan intelektual termasuk penguasaan yang harus ada di dalam PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia), membaca, kamus, penguasaan kosa kata dan perangkat yang berkaitan dengan literasi harus dikuasai dan dimiliki. Selain itu berlatih terus-menerus dengan membuat tulisan yang tersutruktur, harus dilakukan.
Mulailah menulis di Fb atau Ig, atau Twitter kalian untuk melatih daya kerja otak di dalam berpikir hingga menuangkannya dalam bentuk kata-kata. Menulis bukan sekedar menulis, namun harus dilakukan dengan mengerahkan daya intuisi kreatif agar tulisan menjadi berbobot dan berguna bagi pembaca. Ada filter yang menuntun jemari agar tulisan tidak hanya sekedar ‘muntahan’ kata-kata dari kompilasi beragam rasa dengan nuansa negatif, sehingga alur yang terjadi hanya berisi hujatan, dendam, caci maki, kebencian dan segala pikiran jahat yang ada di benak.
Menulis dengan mengandalkan aura positif dari berbagai lini, termasuk tentang keberadaan manusia (human being) dan segala isi dunia dari sudut pandang yang obyektif, dapat mengubah sisi buruk manusia menjadi lebih baik dari semula. Anne Frank dalam The Diary of Anne Frank tentang peristiwa Hollocaust kebengisan pada kaum Yahudi, telah menjadi bukti nyata dari kekuatan kata-kata.
Ayo, kisahkan apa yang kau rasa hari ini dalam bentuk tulisan yang asyik dibaca dan perlu, salam literasi.
Masukan, tiap satu alinea atau paragraf, satu pemikiran. Lalu beri jarak sehingga setelah diupload di media sosial, tulisan tidak menempel rapat dan mata jadi sakit kala membacanya.
(Fanny Jonathans Poyk)