Teman

Paling sedikit ada 2 hal yang tak bisa kita sebut bekas atau mantan. Para ahli bahasa dan kita, lebih bersepakat mengatakan bekas untuk barang atau benda. Misalnya: bekas kantor, bekas asrama, bekas sekolah dst.

Jika manusia, sebaiknya kita mengatakan: mantan. Misalnya: mantan anak band, mantan tetangga, mantan mentor, mantan bos, mantan rekan kerja, dst. Tapi kita tak pernah mendengar orang menyebut: mantan anak atau mantan teman.

Banyak ungkapan tercipta dari kata teman. Mulai dari yang norak seperti: “Friend cia Friend” Ini bukan berarti bahwa kita punya teman agen rahasia Amerika, tapi: Teman makan Teman. Yang klise seperti: “That’s what friends are for”. Sampai yang serius dan tajam, seperti: “A friend in need is a friend indeed”. Teman sejati adalah teman yang ada di saat kita membutuhkan (pertolongan).

Pada awal-awal ketika ikut masuk dalam ‘kebudayaan baru’ yang bernama media sosial, aku dibuatkan akun oleh anakku.

“Ayah harus ‘meng-add’ pertemanan”
“Caranya?”
“Yaa, ajukan atau add pertemanan kepada teman-teman ayah. Awalnya tentu teman-teman yang ayah kenal. Nanti jika sudah banyak, barulah ada orang yang mengajak berteman dengan ayah. Semakin banyak semakin asyik”
“Oo,…begitu”.

Sekarang, anak-anakku hanya sesekali saja mengintip media sosial yang bernama Facebook ini.

“Sekarang ef-be itu…mainan orang-orang tua ayaah”.
Anak sekarang memang lebih suka bermain Twitter dan Instagram.

Kembali ke pertemanan di FB. Pada awal-awal, jika ada orang mengajak berteman, langsung saja aku konfirm. Nah, sekarang aku kerap bertanya-tanya, jika ada yang merespon, lukisan atau tulisan yang aku posting:…orang ini siapa ya?

Beberapa waktu lalu, seseorang menelpon aku dari Sulawesi. Seorang penulis. Dia bilang, bahwa dia sudah lama ‘mengenalku’. Bukan mengenalku secara pribadi, tapi dia mengaku sudah lama mengenal karya-karyaku sejak di majalah remaja, tabloid entertain dan tabloid berita wanita. Dia memperoleh nomorku dari teman-temanku di Bulungan, katanya. Lalu kami berbincang.

Dia adalah seorang penulis. Apa saja ide-ide yg ada dikepala yang membuatnya gelisah, ditulisnya. Berita yang terjadi di sekitar, tentang fenomena alam yang terjadi. Prosa atau puisi. Kisah nyata atau fiksi. Yang terbanyak adalah cerpen. Cerpennya tersebar di berbagai media.

Nah, dari cerpen-cerpennya yang tersebar itu, lalu dikumpulkan. Dia berencana membuat buku kumpulan cerpen yang akan dipersembahkan bagi istrinya, sekaligus untuk merayakan hari pernikahan mereka. Aah, baik sekali teman baruku ini.

Lalu dia bertanya,…sudikah aku membuat 2 buah ilustrasi dari beberapa cerpennya yang akan dibukukan itu. Tentu saja aku jawab tentu. Tapi dia tak bisa menjanjikan apa-apa, katanya. Lalu aku bilang, bahwa dia tak usah menjanjikan apa-apa. Cukup dengan mengirimkan buku kumpulan cerpen itu seandainya sudah dicetak nanti. Dia terlonjak gembira.

Hari berikutnya, dia mengirimkan 2 naskah cerpen yang akan dibukukan dan akan aku buat ilustrasinya. 2 cerpen yang dikirimkannya itu temanya unik.

Cerpen pertama bercerita tentang pelukis. Adalah seorang pelukis yang hidup seorang diri. Sang pelukis sangat terobsesi dengan karya-karyanya. Tentu setiap seniman yang baik jika berkarya, akan mencurahkan segenap kemampuan. Baik secara teknis, imajinasi bahkan mencurahkan segenap rasa. Di luar cerpen yang akan aku buat ilustrasinya itu, aku jadi teringat kepada ungkapan tentang pelukis yang diungkapkan oleh Soedjojono, salah-seorang pelukis legendaris Indonesia.

Pak Djon berkata: “Seharusnya, karya seorang pelukis adalah ungkapan atau ekspresi jiwanya”. Lalu, ungkapan itu terkenal dengan istilah: “Jiwa kethok atau Jiwa yg nampak”. Juga ungkapan seorang pelukis grafiti yang mati muda, Jean Michael Basquiat. Katanya: “Ketika melukis, aku tak berfikir tentang seni, tapi tentang (ke)hidup(an)”.

Cepen aku lanjutkan ya. Begitu terobsesinya sang pelukis dengan setiap karyanya. Sehingga, jika ada kolektor yang tertarik untuk membeli karyanya, sang pelukis sangat berat melepasnya. Ah, aku jadi teringat sebuah ungkapan lagi yang berbunyi kira-kira begini: “Karya, bagi seorang seniman sejati, laksana seorang anak baginya”. Hlaa,…mosok anak mau dijual..?!

Suatu ketika, sang pelukis, melukis sesosok wanita. Setiap kali menggores, wanita dalam lukisannya itu seperti bernyawa. Sang wanita dalam lukisannya seperti mengajaknya berdialog. Bahkan seperti mengajak sang pelukis ‘masuk’ ke dalam kanvasnya. Sebuah cerita yang unik bukan?

Cerpen ke-2, agak suspense. Bercerita tentang sebuah negeri antah berantah. Tapi kita dengan mudah dapat menduga negri mana yang dimaksud. Cerpen itu bercerita dengan latar belakang ketika seorang pemimpin diktator yang sudah begitu lama di singgasana, (di)turun(kan) oleh rakyatnya. Peristiwa penurunan itu tentu tak mulus. Berdarah-darah dan memakan begitu banyak korban jiwa. Sang tokoh utama dalam cerpen itu konon menyaksikan sendiri orang-orang lari lintang pukang, binasa terpanggang, hangus meregang.

Peristiwa itu mengendap dalam benak. Sang tokoh, selalu berusaha dengan susah payah mengusir semua ingatan tentang peristiwa itu dari benaknya. Setelah sekian lama peristiwa menyeramkan itu berlalu, suatu kali sang tokoh utama dalam cerpen diundang untuk makan malam. Tapi di meja makan, hidangan-hidangan yang semula menggiurkan dan mengundang selera, tiba-tiba berubah jadi… potongan-potongan tubuh manusia yang hangus terbakar…

Setelah menyelesaikan 2 buah ilustrasi untuk buku kumpulan cerpen itu, ilustrasi itu aku foto, lalu aku kirimkan kepadanya.

Sampai sekarang, tak ada lagi kabar darinya. Apakah buku kumpulan cerpen yg dipersembahkan bagi istri dan merayakan hari pernikahan mereka itu jadi dibuat atau diterbitkan.

Teman, semoga baik-baik saja,…di mana pun kau berada…


*Salah-satu dari 2 ilustrasi yang aku buat. Ah, sayang aku lupa judul cerpennya…

Aries Tanjung

Mural