Tentang Bung Hatta yang Pernah Disalahpahami

Bung Hatta Family

Dalam beragama, Bung Hatta mementingkan hakekat dan bukan semata syariat. Substansi bukan simbol.

Oleh DIMAS SUPRIYANTO

PADA awal kemerdekaan,  Bung Hatta pernah disalahpahami oleh kelompok gerakan keagamaan Islam, karena penolakannya yang tegas kepada gagasan negara teokratis – sebagaimana disampaikan Gus Dur dalam kumpulan eseinya, Tuhan Tak Perlu Dibela. Kalangan santri, muslim puritan pada masa itu menginginkan penerapan syariat Islam di Indonesia.

Latar belakang pendidikan Bung Hatta di Rotterdam, Belanda – mendalami hukum negara dan hukum administrasi –  menambah stigma untuknya sebagai penganut sekulerisme.

Sejarawan MC Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia (1981) mengungkapkan perbedaan pandangan antara Bung Karno dan Bung Hatta pada dekade-dekade jelang kemerdekaan RI sebagai “perpecahan di kalangan nasionalis sekuler.”

Mohammad Hatta adalah sosok nasionalis sejati. Bung Hatta menolak untuk menginjakkan kakinya di Singapura, hingga akhir hayatnya,  karena negeri singa itu telah menjatuhkan hukuman gantung kepada dua marinir Indonesia, Usman dan Harun. Hatta menganggap hukuman itu adalah bentuk penghinaan.

Namun di sisi lain, beliau lah penghayat Islam tekun hingga akhir hayatnya. Sang Isteri, Ibu Rahma Hatta menyebut, dia adalah isterinya yang ke tiga. Yang pertama, sajadahnya, kedua buku bukunya, dan baru dialah isteri yang ke tiga. Tamsil yang menggambarkan keteguhan Bung Hatta dalam agama.

Gus Dur dalam eseinya menuturkan, masjid Matraman menjadi saksi bagaimana mobil Bung Hatta B 17845 selalu terparkir di hari Jumat siang, dan Bung Hatta hadir lebih awal dan duduk takziem di shaft depan.  

Hatta merupakan seorang pembelajar yang cerdas. Ia selalu kritis dalam mencerna gagasan-gagasan yang dipelajarinya. Pemikiran-pemikiran yang ditelaahnya tidak pernah dianggapnya serta-merta benar.

Menghayati agama sebagai pribadi adalah satu hal, menempatkannya sebagai hukum negara sebagai hal lain. Itulah prinsip beragama Bung Hatta.

Ia terlebih dahulu merelevansikannya dengan agama yang dianutnya. Alhasil, Hatta dapat mengenal dan bahkan akrab dengan budaya Barat tanpa kehilangan jati dirinya sebagai seorang Muslim yang selalu berupaya takwa. 

Bung Hatta menjelaskan dengan memberi pembanding gincu (lipstik) dan garam . Lipstik sebagai pemulas bibir yang mudah luntur, garam sebagai pengubah rasa masakan yang tak nampak. Bung Hatta menegaskan, Islam adalah garam, bukan gincu.

Bung Hatta mementingkan hakekat dan bukan semata syariat. Substansi bukan simbol.

Dari penampilannya yang kebarat baratan, dia teguh dalam berIslam, sebagai buah dari pola pendidikan yang diterimanya dari keluarga maupun guru-gurunya.

Pesan yang seharusnya diteruskan oleh pewaris bangsa adalah memakai “ilmu garam”, bukannya “ilmu gincu.”

Penerapan Perda-perda Syariat Islam di berbagai daerah dan provinsi beberapa tahun terakhir ini merupakan “ilmu gincu”.  Lipstik. Menonjolkan penyebutan nama Islam, kemasan, dan simbol, tetapi dalam praktik penerapannya justru jauh dari ajaran Nabi Muhammad SAW dan petunjuk Alquran.

Bahkan yang lebih parah, menggunakan nama Islam untuk membenarkan aksi anarki, korupsi, memilih gubernur yang sering kelebihan bayar dan mendzalimi sesama muslim. ***

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.