TENTANG FOTO KELUARGA SI SINGAMANGARAJA XXII

OLEH : NESTOR RICO TAMBUN

Banyak yang tertarik dan bertanya tentang foto keluarga Raja Si Singamangaraja XII yang saya muat bersama tulisan peringatan 114 tahun gugurnya RSSM XII. Ada yang bilang kasihan. Ada yang tertarik dengan militer berseragam yang semua berkulit hitam (bukan Belanda).

Pasukan Marsose, yang menewaskan RSSM XII dan putra-putrinya memang bukan militer organik pemerintahan kolonial Belanda. Mereka semacam pasukan khusus bayaran, yang disewa untuk menjalankan misi perang Belanda. Komandannya sendiri, Kapten Christoffel, seorang Swiss, bukan Belanda. Anggota pasukannya aneka etnis, mayoritas dari Indonesia bagian Timur, terutama Maluku.

Christoffel dijuluki “macan Aceh” karena berhasil melumpuhkan perlawanan pejuang-pejuang Aceh yang sudah berlangsung lama. Mereka melakukan bumi hangus dan pembantaian berdarah dimana-mana. Salah satu pembantaian yang mengerikan di Kuta Reh. Dalam salah satu koleksi foto KITLV, pasukan Christoffel terlihat berdiri di atas tumpukan mayat di dalam benteng yang baru dihanguskan.

Dalam buku Prof. Sidjabat terungkap, anggota pasukan Christoffel yang menembak RSSM XII bernama Hamisi, asal Tobelo (Maluku Utara). Digambarkan Hamisi dan RSSM XII berhadapan dalam jarak dekat. RSSM XII mencabut dan mengangkat Piso Gaja Dompak-nya sambil berkata, “Ahu Sisingamangaraja.” Dan Hamisi menembaknya.

Dari hutan Sindias, jenasah Raja Si Singamangaraja XII dan dua putranya, Patuan Nagari dan Patuan Anggi diusung ke Pearaja (Dairi), kemudian ke Lintong, Tele, Harianboho, dan disemayamkan di Pangururan. Di sana jenasah-jenasah itu dipertunjukkan untuk meruntuhkan semangat rakyat.

Dari Pangururan, jenasah dibawa ke Balige, kemudian ke Tarutung. Tanggal 22 Juni 1907, ketiga jenasah dimakamkan di depan tangsi militer Tarutung dengan penghormatan militer. Mereka dimakamkan dalam satu lubang.

Mendengar Sang Raja gugur, keluarga yang sudah lebih dulu ditahan di tangsi militer Sidikalang mangandungi. Mereka antara lain terdiri dari ibunda Boru Situmorang, istri Sailan Boru Sagala dan Natingka Boru Nadeak, istri Patuan Nagari, Nainga Boru Situmorang, serta anak-anak. Mereka memohon diijinkan untuk melihat jenasah Sang Raja untuk terakhir kali.

Keluarga ini pun diberangkatkan dari Sidikalang ke Silalahi. Dari sana naik kapal motor ke Pangururan, terus ke Balige. Dari sana mereka jalan kaki ke Siborongborong lewat Tangga Batu dan Sipintu-pintu. Waktu itu belum ada jalan raya.

Di Siborongborong, rombongan istirahat sebentar. Di sana Kontrolir W.K.H Ypes sempat mengambil foto mereka. Dan foto Ypes inilah (dikoleksi KITLV) satu-satunya foto dokumentasi sejarah keluarga Si Singamangarja dari perjuangan gerilya hampir 30 tahun. Foto dalam duka yang terdalam, karena setiba di Tarutung ternyata Sang Raja dan dua putra yang mereka cintai sudah dimakamkan.

Keluarga ini kemudian diinternir di sebuah rumah panjang di komplek tangsi militer Tarutung. Mereka tak pernah kembali ke Bakkara, asal dan pusat kerajaan Dinasti Si Singamangaraja, sejak Istana RSSM XII dibakar kedua kali, tahun 1883. Jadi, kalau disebut di Bakkara ada Istana dan keluarga Si Singamangaraja, ya bukan anak keturunan RSSM XII.

Tidak ada keluarga Batak yang lebih menderita dan pilu dari Raja Si Singamangara XII untuk Tano dan Bangso Batak. Januari 1910, para istri, menantu dan putra-putri SSSM XII dibaptis jadi Kristen. Anak laki-laki RSSM XII dikirim ke Jawa di tempat yang terpencar. Mereka takut salah satu dari anak ini didaulat jadi Raja Si Singamangara XIII. Dua (atau 3?) dari lima anak itu meninggal tanpa sebab yang diketahui.

Desember 1919, Poernama Boru Sinambela, putri bungsu Raja Si Singamangaraja XII, dari ibu Boru Nadeak menikah dengan marga Simorangkir, putra seorang guru sending. Tanggal 22 Mei 192 Sekretaris Gubernemen Hindia-Belanda di Bogor mengeluarkan surat keputusan mengijinkan Poernama mengikuti suami ke Pematang Siantar, sekaligus menghapuskan tindakan politik (sebagai internir/tahanan) kepadanya.

Poernama Boru Sinambela tinggal di Siantar hingga akhir hidupnya. Ia adalah ompung (nenek), ibunda dari bapak Togu Simorangkir, yang kini sedang melakukan aksi jalan kaki dari Balige ke Jakarta bersama Oni Anita Martha Hutagalung dan Irwandi Sirait Bang Rait, untuk meminta Presiden Joko Widodo menutup TPL, yang sudah menimbulkan kerusakan ekologis konflik-konflik sosial di Tano Batak. Mungkin berhasil… mungkin tidak, seperti perjuangan Raja Si Singamangaraja XII. Tapi, bagaimanapun perjuangan punya nilai dan harga… !

,Foto bawah:
Keluarga, para istri, menantu dan putra-putri Raja Si Singamangaraja XII setelah upacara pembantisan, Januari 1910 (dari buku “Ahu Sisingamangaraja)

Avatar photo

About Mas Soegeng

Wartawan, Penulis, Petani, Kurator Bisnis. Karya : Cinta Putih, Si Doel Anak Sekolahan, Kereta Api Melayani Pelanggan, Piala Mitra. Seorang Crypto Enthusiast yang banyak menulis, mengamati cryptocurrency, NFT dan Metaverse, selain seorang Trader.