Korban penembakan brutal dari pelaku kaum awam – bukan oknum polisi atau tentara – terus berjatuhan. Kejadian mengerikan berulang dari tahun ke tahun, namun Amerika Serikat terus mempertahankan kebebasan pembelian dan kepemilikan senjata, atas dasar undang undang yang sah, sehingga peristiwa berdarah dengan korban orang orang yang salah, terus terjadi.
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
WARGA dan keluarga korban penembakan massal dan aktifis pro keselamatan publik terus memprotes, dunia mengutuk dan prihatin, perdebatan melibatkan kubu pro-gun control dan progun rights ini muncul pasca insiden penembakan massal. Namun senat tetap bertahan, karena Lobby pengusaha dan penjual senjata sangat kuat.
Apa yang pelajaran yang perlu diketahui di Indonesia tentang ini?
Di negeri kita, sejauh ini, untuk setiap letusan peluru, nyaris diidentifikasi dan diusut asal usulnya. Bahkan penembakan oleh aparat langsung diketahui jenis senjata dan nomor pendaftarannya.
Sisi baik dari itu, tak ada penembakan sembarangan. Bahkan polisi dan TNI, yang sah memegang senjata bisa kena sanksi karena itu. Apalagi oknum sipil.
Kita berharap Indonesia tetap seperti itu.
Tidak demikian di Amerika Serikat, negeri super bebas. Di sana setiap orang bebas pergi ke toko, memesan senjata dan membayarnya. Bahkan untuk senjata semo otomatis.
Salvador Ramos, pelaku penembakan di Sekolah Dasar Robb di Kota Uvalde, Negara Bagian Texas, Amerika Serikat, membeli dua senapan semi-otomatis tipe AR15 dan 370 butir amunisi sebagai hadiah ulang tahun untuk dirinya sendiri. Ramos baru saja menginjak usia 18 tahun.
Senapan AR15 itulah yang digunakan untuk penembakan massal di AS, Selasa (24/05). Dalam penembakan massal yang dia lakukan, 19 murid SD dan dua guru tewas.
Ramos, yang diklaim keluarganya memiliki persoalan kepribadian dan perilaku yang tidak menentu, memperoleh senjata itu secara legal. Ramos hanya berjalan ke toko, memesan, membayar, lalu pergi.
Prosedur seperti itu adalah sesuatu yang tidak terbayangkan di negara mana pun. Namun ini berlaku di AS, di mana kepemilikan senjata dinyatakan sebagai hak dasar dan dilindungi oleh konstitusi, terutama setelah amandemen kedua.
Apa yang dimaksud dengan amandemen kedua dan mengapa aturan itu muncul?
BILL OF RIGHTS – Pada 15 Desember 1791, AS mengesahkan undang-undang yang dikenal sebagai Bill of Rights. Beleid ini berisi 10 perubahan pertama konstitusi AS yang menegaskan hak-hak dasar warganya.
Atas dasar hukum itulah, kepemilikan senjata setara dengan kebebasan berekspresi, pers, beragama, atau berkumpul. Pada tahun 1791, AS baru menguasai sekitar sepertiga dari wilayah mereka saat ini. Ketika itu mereka ingin memperluas wilayah ke barat.
AS pada masa itu juga baru saja mengalahkan pasukan Inggris dalam Perang Kemerdekaan (1775-1783). Dalam perang melawan Inggris itu, milisi alias kelompok warga bersenjata memainkan peran penting.
Milisi adalah sekelompok orang yang awalnya berkumpul untuk melindungi komunitas, kota, dan koloni mereka. Saat AS mendeklarasikan kemerdekaan pada tahun 1776, mereka akhirnya berperan untuk mempertahankan kepentingan negara bagian.
Senjata panjang utama mereka adalah musket, yaitu perangkat infanteri yang digunakan hingga abad ke-19, dengan jarak tembak efektif sekitar 100 meter dan dapat ditembakkan setidaknya tiga kali dalam satu menit.
Pada saat itu, ketika identitas budaya Amerika sedang ditempa, banyak kalangan melihat tentara reguler sebagai instrumen untuk melayani kekuasaan. Tentara juga dipandang memiliki kemampuan untuk menindas warga negara.
Oleh karena itu, tidak sedikit warga AS yang percaya bahwa cara terbaik untuk membela diri dari tentara adalah dengan memiliki senjata sendiri dan, jika perlu, mengorganisir diri menjadi milisi.
Bahkan, kaum antifederalis (penentang pemerintah pusat yang kuat) menolak keberadaan tentara profesional, meskipun militer didirikan antara lain untuk dikerahkan jika terjadi perang melawan musuh asing. Demikian artikel BBC Indonesia.
Jadi, setelah Undang-Undang Dasar AS secara resmi diratifikasi pada tahun 1788, James Madison, salah satu “bapak pendiri” dan kemudian presiden Amerika Serikat, merancang Amandemen Kedua dengan tujuan memberdayakan milisi di negara bagian.
Dan walau Amandemen Kedua tidak membatasi kemampuan pemerintah untuk menegakkan hukum melalui penggunaan kekuatan, aturan itu menghilangkan kewenangan untuk melucuti senjata warga negara yang ingin membela diri.