Penulis ERIZELI JELLY BANDARO
Direksi saya di China, istrinya seorang guru sekolah SMU. Dari dia saya tercerahkan. Menurut ia, setelah Mao Zedong wafat, Deng tampil berkuasa. Yang pertama dia lakukan adalah berkunjung ke AS. Di sana Deng bertanya kepada profesor AS, “Berapa IQ manusia normal?” “100 ” jawab profesor. “Berapa IQ orang AS?” “Di atas 100. Di atas IQ gorila yang IQ-nya berkisar 75-90.”
Kemudian, setelah kembali dari lawatan di AS, Deng meminta agar diadakan test IQ rata-rata orang China. Hasilnya? 80-90.
Deng terkejut. Bagaimana China bisa bersaing kalau IQ-nya setara dengan gorila.
Deng bertanya kepada ahli pendidikan, “Mengapa IQ orang China rendah atau sama dengan gorila?”
Ahli pendidikan menjelaskan, “Karena, sistem pendidikan kita lebih kepada standar dan hapalan. Itu metode pendidikan untuk hewan. Kalau sistem pendidikan dengan metode tematik, akan membuat kecerdasan orang berkembang.”
Deng membuat keputusan revolusioner dalam sistem pendidikan nasional China. Pemerintahnya menghapus sistem pendidikan hapalan dan menghapus standarisasi metode pengajaran.
Semua kembali kepada lokal, sehingga dengan sistem seperti itu orang bisa membedakan kemampuan dari pengetahuan.
Artinya, China tidak mendidik orang mendapatkan pengetahuan di sekolah. Tapi, Chiba mendidik mereka memiliki kemampuan atas apa yang mereka ingin capai.
Metodenya? Tematik, model pembelajaran terpadu menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran, sehingga dapat memberikan pengalaman bermakna kepada siswa. Kini IQ orang China di atas 100.
Pengetahuan sekolah tidak membuat orang cerdas. Kemampuan berpikir membuat orang cerdas dan berkembang karena waktu.
Seseorang dapat belajar dan meningkatkan kosa kata atau matematika, tetapi belum tentu membuatnya menjadi lebih pintar. Sementara, orang yang punya kemampuan menyerap pengetahuan, akan menjadikannya cerdas karena waktu.
Contoh sederhana, Google itu sumber pengetahuan. Tetapi, mengapa orang masih banyak yang percaya hoax! Padahal, mereka banyak yang sarjana.
Banyak orang jadi korban ponzy. Padahal, kadang pencipta ponzy bukan sarjana. Sementara, yang jadi korban kebanyakan sarjana.
Di media sosial, dalam debat kelihatan sekali. Orang yang dididik lewat standar pengetahuan cenderung menjadikan link web sebagai dasar argumennya. Dan, ia cenderung emosional dengan kosa kata yang kering dan kasar kalau orang membantah link tersebut.
Yang miris data dari world populatiom review, tingkat IQ orang Indonesia ada di posisi 70 dunia dengan rata-rata IQ 84. Jadi, sama dengan gorila.
Jadi, wajar saja kita mudah dibegoin, tetapi tidak merasa. Tetap saja kita merasa pintar, tak sadar kalau sikap itu sama dengan goriemosian dan tidak rasional.
Namun, bukan tidak mungkin suatu saat kita bisa menempati urutan teratas dunia kalau sistem pendidikan diubah menjadi sistem tematik. Tidak ada lagi sistem penilaian lewat indeks prestasi. Ijazah tidak ada. Yang ada, surat keterangan lulus.






