Tentang Kerinduan Pada Zaman Normal

Oleh ANDI SETIONO MANGOENPRASODJO

Keterlaluan kalau orang Indonesia tak kenal Ismail Marzuki (IM). Barangkali seseorang boleh tak kenal lagu-lagu wajib, tapi minimal ia pernah mendengar satu saja lagu Ismail Marzuki. Mungkin, ia tak tahu bahwa lagu itu adalah ciptaannya, wajar saja. Karena dalam daftar panjang lagu-lagu yang pernah diciptakannya terjadi banyak perdebatan. Ada yang mengatakan hanya sekitar 200 ada pula yang menyatakan hingga 250 lagu. Sulit untuk diketahui pasti, bahkan sekelas Ninok Laksono yang pernah jadi Pemred Kompas saja hanya bisa membuat “daftar kira-kira”

Versi paling serius, yang dilakukan Firdaus menemukan 118 lagu yang dianggap sebagai ciptaan penuh IM. Sedangkan 75 lainnya, hanya liriknya saja yang ditulis IM, sedang aransemen musiknya oleh orang lain. Artinya apa? Keandalan sesungguhnya IM adalah pada penulisan lirik. Ia adalah penulis lirik terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. Di tangannya, sebuah lagu bisa menjadi “abadi”, karena keindahan dan originalitas liriknya yang tak pernah usang, dan lekang dimakan zaman.

Namun seberuntung itukah nasib IM di masa hidupnya? Tidak! Sama sekali tidak.

Ketika masa pasca kemerdekaan tiba, justru kepopulerannya membuatnya menjadi seorang tertuduh. Ia menjadi sasaran kritik, yang berasal dari sesama pemusik yang rata-rata memiliki didikan Barat. Salah satu kritik yang menurut saya paling konyol adalah lagu-lagu yang bernafaskan nasionalisme dianggap memusuhi kemerdekaan dan kemanusiaan. Pada masa Pasca Pasca Perang Dunia II, lagu sejenis ini dituduh sebagai penghambaan yang keterlaluan pada tanah air. Apa yang dicap mewakili semangat Nazisme, Fasisme dan Anti-Semitisme….

Demikianlah kritik, ia selalu hadir tanpa diundang. Nyelonong begitu saja, tanpa permisi, tanpa ketuk pintu dan kadang menghujam jantung tanpa ampun. Konon tersebab kritik-kritik yang bertubi-tubi inilah, umur IM tak bisa panjang. Ia terlalu mikir, terlalu baper. Tak sebagaimana Sukarno atau dulu Jokowi di hari gini yang bisa cuek dan gontai saja menanggapinya….

Di sini, kali ini saya ingin bercerita tentang salah satu lagunya yang paling populer, yang berkaitan dengan teks di atas. Yang barangkali sangat kontekstual dengan kondisi hari ini. Bahwa apa yang kita miliki di hari lalu, yang kadang kita kutuki adalah hal-hal yang sangat kita rindukan untuk direngkuh kembali. Hal-hal sederhana, hal konyol, menyedihkan tapi membuat kita justru selalu rindu padanya. Kegilaan yang menggembirakan. Kemiskinan yang justru mengasyikkan. Sesuatu yang kadang kita ingin, berbalik pulang kepadanya…..

Lagu tersebut berjudul “Rindu Lukisan”.

Lagu ini diciptakan tahun 1946, dan sejak diciptakannya telah dinyanyikan puluhan biduan atau kelompok yang berbeda. Bisa dicatat beberapa yang paling penting misalnya Sam Saimun yang menyanyikan dalam irama Keroncong, sedang Titik Puspa membawakannya dalam format big-band yang angggun pada masanya. Dulu Gito Rollies dengan suara serak-beratnya itu menyanyikannya dalam satu scene film bertema perjuangan “Keteta Terakhir“.

Dan yang membuat hati ter-patah-patah betul, saat penyanyi lulusan Kolese De Brito, yang saat sekolah ngepit pulang pergi Jogja-Magelang: Kris Biantoro. Konon menurut banyak pengamat musik, di tangan Kris Biantoro, lagu ini “paling pas”. Dinyanyikan dalam irama yang paling natural, sebagaimana disukai oleh Ismail Marzuki dalam gaya yang disebut “beguine”. Apa itu? Beguine kira-kira tersirat irama tango yang aslinya berasal dari Argentina.

Lalu sedahsyat apakah liriknya, hingga membuat lagu ini sedemikian legendaris?

Tema dasarnya adalah tentang kerinduan, maksud yang tak sampai. Pada penafsiran yang paling lugu tentu antara dua orang kekasih yang terpisahkan, yang tak yakin bersatu kembali. Namun banyak yang menafsirkan, sebagaimana saya sampaikan di awal tulisan. Rindu pada zaman normal, ketika ia bisa bebas produktif menulis lagu. Lagu-lagu yang berasal dari mana-pun itu lalu liriknya digubah dengan bahasa Indonesia, disesuaikan dengan semangat yang terjadi saat itu.

Bisa dipahami, karena saat itu IM mengalami banyak dakwaan “mencuri” lagu2 yang seolah sangat lokal seperti Panon Hideung atau Hallo-Hallo Bandung, yang justru banyak dikritik sebagai plagiarisme yang tak kira-kira. Demikianlah watak pengkritik, ia seolah berbicara tentang orang lain, tapi sesungguhnya hanya menumpang popularitas orang lain. Di sinilah awal mula IM mengalami sakit, lalu sakit-sakitan hingga akhirnya meninggal….

Hari-hari lalu, masa normal sebelum pandemi itu adalah “Lukisan” itu, yang kita “Rindu“-kan. Jika pun kondisi kemudian pulih, tak akan pernah sama lagi. Banyak sahabat, saudara, orang tua, orang yang baik, yang kita hormati, dan sayangi tiba-tiba pergi tanpa pernah sempat berpamitan. Virus yang konon kemudian akan dianggap sebagai flu yang biasa itu, pasti akan menyisakan rasa khawatir munculnya varian virus baru selanjutnya.

Dunia yang berubah tanpa kita harus mempersoalkan ada tidak sesungguhnya pertarungan globalis dan anti-globalis. Pertarungan antara para konspirator, yang bukan main bullshit dan sama jahatnya. Masa-masa datang yang secara ironik dan harus kita jalani sebagai Masa New Normal itu….
.
.
.
NB: Sebagai pengingat lagu “Rindu Lukisan” tersebut, silakan simak video clip terbaru. Dinyanyikan secara duet-grup trio perempuan penyanyi yang lagi saya suka-sukanya. Yang pertama pantas disebut tentu Nonaria, sebuah Trio Wanita Penggembira yang super pede. Gak ada Trio sepede mereka.

Kedua, tentu trio Fleur. Tiga perempuan muda, dengan karakter kecantikan yang misterius. Cantik banget bila diambil dari angle tertentu saja. Musikalitas mereka, gaya bermain mereka memberi harapan bahwa masa depan perempuan Indonesia masih cerah gilang gemilang. Tak hanya tunduk pada aturan-aturan agama yang mengekang segala “keindahan” yang mereka miliki.

Dari keenamnya, jelas kita merindukan kemegahan, kegemilangan, dan kejayaan lukisan masa lalu Indonesia. Juga harapan di masa datang!

Avatar photo

About Andi Setiono Mangoenprasodjo

Penulis, Pemerhati Sejarah, Direktur The Heritage Society, tinggal di Yogyakarta