Seide.id -:Mei 1998, aku masih di kantor, tepatnya di Jln. TB. Simatupang, Jakarta Selatan. Di sana ada tabloid Bintang Indonesia dan Tabloid Anak Fantasi tempat aku bekerja.
Rumor kala itu mengatakan akan ada huru-hara dan kita harus cepat-cepat pulang. Aku masih cuek. Itu hanya kabar bohong belaka, pikirku. Namun nyatanya teman-teman mulai berkemas, juga teman dari tabloid Bintang. “Pulang Fan, tar ga ada bis.” Kata teman dari tabloid Bintang Indonesia, ia kerap jalan pulang ke Depok sama-sama.
Aku masih bertahan di kantor, santai menanggapi rumor yang kudengar bahwa huru-hara sudah menjalar di mana-mana, khususnya di Jakarta Pusat dan sedang menuju ke Jakarta Selatan. Dalam benakku, apa yang akan terjadi? Bukankah presiden dan TNI kita kuat? Di tengah tanda-tanya dan rasa ‘cuekku’, teman-teman kembali berseru untuk segera pulang. Di depan, di Jln. Tol TB. Simatupang mulai terlihat orang-orang berjalan cepat, berbondong-bondong, mobil angkot terlihat penuh dan orang-orang terlihat panik. Aku masih bingung belum menyadari apa yg terjadi. Namun mulai sadar bahwa situasi tidak biasa-biasa saja.
Ketika ruang kantor mulai sepi, baru aku tergugah untuk pulang. Keadaan terlihat mulai mencengkam. Aku bergegas pulang, estafet naik angkot berganti-ganti. Lalu aku ke Pasar Minggu, dengan harapan bisa naik mikrolet menuju ke rumahku. Tapi mikrolet mulai jarang andai pun ada selalu penuh. Kereta api juga penuh sesak, ada yang bergelantungan di pintu, aku tidak bisa masuk. Zaman itu commuterline seperti sekarang belum ada. Handphone masih barang langka. Yang ada pager, namun tiap pager berbunyi, aku langsung mengalami euforia, berlompatan tak jelas dengan dada berdebar.
Akhirnya setelah berganti-ganti angkot, aku tiba di rumah dengan selamat. Aura sekitar rumah pun serasa mencekam, tetangga dan keluarganya yang masih famili suami sudah berkumpul di rumah dengan wajah tegang dan pucat.
Kami berkumpul menunggu apa yang akan terjadi. Aku ingin mengatakan bahwa peristiwa mencekam ini hanya ketakutan yang kita bikin sendiri, siapa yang mau membunuh siapa? Perang apa ini? Namun aku hanya diam, keadaan tetap mencekam, kami bagai menunggu Voldermot mahluk tak terlacak di kisah Harry Potter yang bahkan namanya pun pantang untuk diucapkan, atau akan ada Vampire yang hendak masuk ke rumah-rumah di sekitar lalu menghisap darah kami satu-persatu. Rasa takut mulai menyusup ke pori-poriku dan juga semua orang yang ada di rumahku. Malam itu kalau tak salah listrik mati.
Tak lama Ibuku yang tinggal di daerah Pasar Rebo datang. Dia dengan santainya bertutur melihat orang-orang panik hendak melarikan diri entah kemana. Kata Ibuku yang amat fanatis dengan keyakinannya ini dan kerap dijuluki ayahku Si Gila Agama, “Orang-orang yang panik itu seperti tidak punya Tuhan saja. Kalau Tuhan mau panggil kita ke luar dari bumi, di mana dan kapan saja Dia bisa cabut nyawa kita. Mamak sante aja tuh, banyak tentara dan polisi mondar-mandir…” katanya tanpa beban.
“Ini kayak zaman gedoran, Fan!” Ucap alm. iparku beberapa hari kemudian.
Ketika keadaan mulai senyap dan tak terdengar keriuhan lagi, tetanggaku dan keluarganya pulang. Kami tidak tidur hingga pagi.
Keesokkan harinya sahabatku, teman satu kuliah yang orang Manado dengan wajah imut mirip China, berkulit putih, datang ke rumah dari tempat kostnya, ia tampak ketakutan, katanya di Kalibata, Jaksel, tempat dia kost, beberapa orang ada yang mencurigai dia China.
“Apa gue tulis aja di belakang punggung gue kalimat ‘Manado Asli’ ya Fan?” Tanyanya dengan wajah cemas. Aku bilang padanya tak usah takut, kita berdoa saja. Dan nyatanya, beberapa tahun kemudian sahabatku ini harus tiada di usia muda akibat kanker payudara yang ganas, sad for you Nina…
Beberapa hari berlalu, sang Presiden lengser. Kisah tentang pembunuhan, perkosaan dan ratusan etnis China, dan mereka yang melarikan diri ke luar negeri dengan meninggalkan mobil-mobil mereka di bandara juga rumah dan harta benda mereka, membuat aku merinding dan menyadari bahwa cheos yang tercipta atau diciptakan, sungguh membuat luka yang teramat dalam dan pedih.
Apa yang didapat dari semua ini? Tidak ada, kecuali penderitaan yang sampai sekarang masih tetap membekas…
Fanny Jonathan Poyk